Jumat, 22 Agustus 2014

BISEKSUAL



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Setiap gerak manusia adalah sebuah afeksi yang merupakan perpaduan antara emosi dan ratio yang membutuhkan daya dukung yang mampu mendinamisasi kehidupan dan kreativitas. Salah satu bagian dari daya dukung tersebut adalah kebutuhan  biologis, mulai dari makan, minum dan seks tentunya. Dari semua perdebatan yang terjadi terhadap segala kebutuhan manusia, tampaknya seks menempati posisi yang paling kontroversial sepanjang peradapan manusia.Secara esensi seks merupakan bagian utama dari hasrat pemenuhan kebutuhan badaniah.Ia adalah bagian dari konsumsi yang diperlukan oleh tubuh. Sejak jaman prasejarah, seksualitas dianggap sebagai bagian dari keharusan alam yang bersifat instingtif demi melanjutkan proses survivalisasi. Sejak lahir kebutuhan biologis manusia terungkap melalui berbagai insting seperti rasa lapar yang diikuti dengan hasrat mencari makanan, posisi tersebut juga terjadi pada kebutuhan biologis lainnya seperti seks yang diikuti berbagai cara untuk memenuhinya.
Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia sebagai bagian personalitas total manusia, dan berkembang terus dari mulai lahir sampai masa tua, berubah sesuai dengan usia, sesuai dengan peran yang ada di masyarakat yang berpatokan dengan identitas peran atau gender serta interaksi dengan orang lain dan lingkungan budayanya. Seksualitas merupakan konstruksi social yang terbentuk melalui sejarah, konteks dan kebudayaan.  Seksualitas harus di pandang secara keseluruhan dalan konteks kehidupan manusia dan dalam berbagai dimensi karena pandangan tentang seksualitas mencakup siapa kita dan apa yang kita kerjakan. Kondisi seksualitas juga menunjukkan gambaran kualitas kehidupan manusia, terkait dengan perasaan paling dalam, akrab dan intim yang berasal dari lubuk hati, dapat berupa pengalaman, penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai mahluk seksual.
Seksualitas memiliki beberapa komponen, salah satunya adalah orientasi seksual. Orientasi seksual adalah ketertarikan yang bersifat abadi (enduring) secara emosional, romantis, dan afeksional kepada manusia lain. Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual, karena orientasi seksual adalah perasaan dan konsep diri, bukan perbuatan. Seseorang mungkin saja tidak melakukan kegiatan seksual yang sesuai dengan orientasi seksualnya (atau sama sekali tidak melakukan hubungan seks). Orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kognitif dan biologis.Artinya, bagaimana seseorang dibesarkan (termasuk pengalaman-pengalaman seseorang yang bersifat seksual), pola pikir orang tersebut dan struktur genetis dan hormonal yang didapat sejak seseorang berada di dalam kandungan mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Orientasi seksual seseorang pada umumnya akan mulai muncul  pada awal-awal  masa remaja.
Ekspresi adalah wujud dari emosi yang nampak, sesuatu yang ada dalam diri manusia yang tersirat, atau cara manusia untuk menyampaikan pesan yang berasal dari dalam diri manusia, bisa berupa kata-kata, tindakan atau tingkah laku. Ekspresi natural adalah wujud dari emosi alamiah, natural yang merupakan bagian integral dari kebebasan manusia.
Dalam seksiologi di kenal dengan nama heteroseksualitas dan homoseksualitas Heteroseksual yaitu manusia yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Artinya, pria tertarik secara seksual pada wanita, demikian juga sebaliknya, jadi heteroseksual adalah salah satu jenis dari orientasi seksual yaitu aktivitas seksual di mana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis.Mereka inilah yang disebut pria atau wanita tulen.Pria atau wanita yang dianggap normal yang merupakan golongan mayoritas.
Sampai saat ini heteroseksual dianggap sebagai satu-satunya bentuk natural dari ekspresi seksualitas,sedangkan homoseksualitas Menurut Katchadourian (1989) secara sederhana homoseksual didefinisikan sebagai atraksi atau aktivitas seksual antara sesama jenis. Prefiks “homo” dalam homoseksual berasal dari bahasa Yunani yang artinya “sama” bukan merujuk pada bahasa Latin homo yang berarti “laki-laki”. Dengan demikian homoseksual diartikan sebagai hubungan seksual dengan sesame jenis, bukan hubungan seksual dengan laki-laki.Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial seringkali memandang hal-hal yang diluar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Norma sendiri dibuat dan dipedomani anggota masyarakat melalui proses kesepakatan social dan norma-norma yang ada merujuk pada tuntutan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat.
Penolakan terhadap kehadiran kaum homoseksual justru lebih banyak datang dari keluarga yang pada akhirnya tidak jarang akan menimbulkan konflik dalam keluarga. Misalnya, pemaksaan pada si gay oleh keluarga untuk menikahi perempuan. Bila menolak untuk menikah, mereka akan diusir dari keluarga. Sementara itu, dalam kenyataannya mereka yang sudah menikah tetap sulit untuk menghentikan aktivitas homoseksualnya sehingga tidak jarang kaum gay setelah menikah tetap berperilaku homoseksual secara insidentil atau sembunyi-sembunyi. Dengan kata lain, mereka kemudian berperilaku biseksual.

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1    Orientasi Seksual
Orientasi seksual adalah pilihan sosioerotis seseorang untuk menentukan jenis kelamin partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang berbeda atau jenis kelamin yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005). Perlu ditambahkan bahwa pilihan ini tidak hanya berbicara soal hubungan seks, namun juga menyangkut misalnya emosi, perasaan, dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup, serta aspek seksualitas yang lebih luas. Tiga komponen seksualitas adalah jenis kelamin biologis, identitas gender (arti psikologis pria dan wanita) dan peranan jenis kelamin (norma-norma budaya untuk perilaku feminin dan maskulin). Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual karena berkaitan dengan perasaan dan konsep diri.Namun dapat pula seseorang menunjukkan orientasi seksualnya dalam perilaku mereka.Orientasi seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
1)        Heteroseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
2)        Homoseksual, yaitu orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters, 1992)
3)        Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan (Masters, 1992)

2.2    Heteroseksual
2.2.1        Definisi heteroseksual
Banyak pengertian dari heteroseksual dari berbagai macam literatur, namun semuanya memiliki makna yang sama. Beberapa pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
1.   Aktifitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis
2.   Seseorang yang tertarik dengan lawan jenisnya/ opposite sex (Kamus Oxford)
3.   Orang yang mempunyai hubungan seksual utama atau eksklusif (primarily and exclusively) dengan jenis kelamin lainnya (Sexual Interaction, Albert R Allgeiger).
4.   Orientasi seksual yang menggambarkan pilihan seseorang untuk anggota-anggota jenis kelamin lainnya, bukan anggota- anggota dari jenis kelamin mereka sendiri, ketika membangun hubungan- hubungan seksual dan/ atau romantic.
2.2.2        Heteroseksual sebagai bentuk natural dari ekspresi seksual
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa dorongan untuk menjadi heteroseksual atau yang lain tersusun dan dikuatkan pada masa anak-anak, remaja dan dewasa melalui bahasa, ritual dan interaksi.
Beberapa persoalan tentang “mengapa heteroseksualitas dipertimbangkan sebagai satu-satunya bentuk ekspresi seksual alami?”.Dapat dijawab bahwa pertama kali Tuhan menciptakan manusia, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan yaitu Adam dan Hawa.Sebagai pencipta, Tuhan tahu tentang umat manusia ciptaan-Nya. Tuhan tahu jika akan menguntungkan (fulfill) bagi manusia, akan di beri label ‘benar’ dan jika akan merugikan bagi manusia akan di beri label ‘salah’. Inilah alasan utama mengapa Tuhan merekomendasikan untuk memilih heteroseksual, sebab Tuhan tahu bahwa ini akan memberi banyak keuntungan/kebahagiaan bagi manusia. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan manusia untuk mengerjakan yang baik sesuai dengan perintah-Nya.
Alasan lain mempertahankan posisi ini adalah bahwa dalam pernikahan dengan pasangan lain jenis (atau dalam suatu hubungan), prinsip yang sama ini telah terbukti melengkapi pemenuhan.
Sebuah aspek praktis heteroseksualitas yang monogami adalah sesuatu yang sesuai dalam masyarakat. Yang lain adalah faktor potensi tambahan terhadap pemberian- pemberian kepada keluarga yang merupakan unit dasar dan pokok dari masyarakat.
Selama ini kebanyakan orang berpikir dan percaya penuh bahwa semua manusia dilahirkan untuk menjadi insan yang heteroseksual. Coba cermati, pertanyaan apa yang selalu muncul saat seseorang mendengar kelahiran seorang bayi. Tentu, pertama-tama, yang ingin diketahui adalah jenis kelamin bayi itu.Perempuan atau laki-laki.Pertanyaan ini menjadi begitu penting maknanya karena memang bukan hanya sekedar pertanyaan biasa. Melainkan pernyataan secara tidak seperti misalnya bayi yang dilahirkan perempuan maka akan ada sederet harapan yang dipertaruhkan atas jenis kelaminnya. Begitu pula kalau bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki. Salah satu persoalan yang kelak akan menjadi masalah besar adalah segala sesuatu yang menyangkut  perilaku seksnya. Seorang bayi perempuan atau laki-laki bukan sekedar diandaikan akan berpasangan dengan lawan jenisnya.
Tapi hal itu merupakan kewajibannya, karena dalam keyakinan kita memang harus begitu.Itu merupakan sesuatu yang ‘kodrati’ sifatnya, sesuatu yang ‘alamiah’, sesuatu yang ‘udah dari sononya begitu’.Andai terjadi hal-hal berbeda dari yang dianggap kodrati, maka orang yang bersangkutan dituduh bukan manusia lagi, karena dia muncul sebagai sosok diri yang dianggap ‘tidak kodrati’.Keharusan untuk menjadi heteroseksual, atau heteroseksualitas yang dipaksakan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap manusia.itu toh muncul dari nilai-nilai heteroseksual.
Contoh lain adalah saat dewasa perempuan akan tertarik pada laki-laki dan begitu pula sebaliknya, kemudian mereka akan berpacaran dan selanjutnya menikah. Aturan yang mewajibkan perempuan kawin dengan laki-laki.
Contoh pada kaum perempuan, pada saat kanak-kanak sampai manula, perempuan juga diwajibkan bertingkah-laku dan memakai semua tanda-tanda perempuan, seperti kawin dan mempunyai anak, bersekolah dalam bidang-bidang ‘keperempuanan’, dsb.Kalau hal ini tidak terjadi begitu, maka orang mulai bertanya-tanya, “Ada apa dengan dia?”Bahkan ada pandangan sinis sebagian msyarakat mengenai perempuan tersebut. Paksaan menjadi heteroseksualitas seperti tidak akan pernah lelah mengikuti hidupnya. Perempuan terus dibekuk dalam keharusan-keharusan yang sangat mengikat itu.Kemudian, di antara mereka yang mengalami hadirnya sebuah perwujudan seksual yang berbeda dalam dirinya juga dibuat tidak sadar.Mereka pun dibuat ketakutan terhadap kemungkinan-kemungkinan hidup yang harus mereka hadapi dengan perberbedaan itu.
Begitu juga pada laki-laki, sejak lahir dia dianggap “lebih” dibandingkan perempuan.Bahkan saat hamil, apabila gerakan bayi lebih keras diduga anak yang dikandung adalah laki-laki.Kemudian begitu lahir dan semakin besar, anak laki-laki diharuskan menyenangi hal-hal bersifat maskulin seperti menyukai mainan mobil-mobilan, menyukai bidang teknik, bertingkah laku maskulin, dan setelah dewasa menyukai lawan jenis atau perempuan. Apabila dalam usia yang cukup dia belum punya pacar bahkan dalam usia yang lebih dia tidak beristri, orang akan bertanya-tanya ada yang salah pada diri orang tersebut.
Akhirnya Heteroseksual dianggap sebagai satu-satunya bentuk natural dari ekspresi seksual dari manusia.Kita akhirnya terpaksa mengakui mitos tentang heteroseksualitas sebagai satu-satunya seks yang ‘normal’.Kita bahkan berada jauh di luar pemikiran bahwa semua nilai-nilai dan moralitas yang sifatnya mutlak, dominan, dan berlaku dimana-mana sebenarnya adalah hasil pemikiran manusia sendiri yang semata-mata tujuannya hanya untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu.Berdasarkan hal itu, semua yang tidak cocok dengan pemikiran-pemikiran itu dianggap tidak memiliki nilai dan tidak bermakna.Maka konsekuensinya kita memiliki perwujudan seksual yang berbeda dianggap tidak seharusnya ada atau setidak-tidaknya tidak diakui keberadaannya.

2.2.3        Pemahaman Adat Budaya (Culture) Dalam Menerima Heteroseksual
Selama ini heteroseksual di kebanyakan kultur – kultur di dunia dianggap sebagai sebuah norma. Anak-anak sering di asumsikan nantinya mereka merupakan heteroseksual pada saat dewasa. Di beberapa tempat, para kenalan dan teman diasumsikan sebagai heteroseksual kecuali jika mereka menampakkan orientasinya (BBC, 2003)Tak dapat dipungkiri, hal hal tentang heteroseksual banyak dibicarakan di media massa seperti  televisi, radio, film, buku dan surat kabar. Selama ini, heteroseksual khususnya secara monogami adalah hal yang romantisme di banyak masyarakat.Perayaan- perayaan yang terjadi di dalam keluarga seperti pertunangan, perkawinan, perayaan pernikahan, kehamilan, dan kelahiran secara khas mendapat perhatian masyarakat (sosial) positif (BBC, 2003).Dengan adanya pengaruh sosial seperti itu maka heteroseksual dirasakan oleh masyarakat adalah orientasi seksual yang benar dan mereka optimis dengan adanya hubungan secara heteroseksual yang membawa mereka pada hubungan jangka panjang (BBC, 2003)

2.2.4        Keuntungan- Keuntungan Secara Sosial
Orang- orang heteroseksual mempunyai akses yang luas dalam mendapatkan perhatian secara sosial dan hukum, yang jarang didapatkan oleh kaum homoseksual dan biseksual, tergantung dari peraturan (hukum) yang berlaku di daerah masing- masing. Akses- akses tersebut antara lain (BBC, 2003):
1.        Kemampuan dalam mendapatkan pendidikan di kelas (sekolah) tanpa menerima gangguan secara fisik dan diskriminasi di dalam kelas hanya karena perbedaan orientasi seksualnya.
2.        Kemampuan melakukan hubungan seksual dengan pasangannya dengan keleluasaan pribadi di dalam atau luar batas perkawinan tanpa adanya penangkapan untuk itu, menjalani hukuman dalam penjara dan membayar denda
3.        Kesempatan untuk mencari dan mempertahankan pekerjaan, pembelian barang dan jasa dan bergabung dalam kelompok atau organisasi tanpa adanya penolakan hanya berdasarkan perbedaan orientasi seksualnya.Kemampuan pegawai dalam mendapatkan asuransi kesehatan untuk pasangan dan anak-anaknya
4.        Berhak menikah dengan cara yang legal dengan penerimaan dari masyarakat sekitar terhadap pernikahan dan kelanggengan dalam pernikahan tersebut
5.        Kemampuan dalam mendapatkan kewarganegaraan di negara lain pada saat menikah dengan seseorang yang dicintainya di negara tersebut
6.        Penerimaan terhadap bayi yang di lahirkan dari pasangan tersebut, juga kemampuan untuk mengadopsi anak dari luar atau mengadopsi anak yang di miliki dari pasangan sebelumnya
7.        Hak yang tidak dipermasalahkan untuk mendapatkan kepemilikan harta ketika salah seorang dari pasangan meninggal dunia
8.        Hak untuk di dengarkan dalam pengadilan selama masa perceraian dan/atau perselisihan pengasuhan anak
9.        Hak untuk menyusun dan mengurus penguburan terhadap seseorang yang dicintainya ketika dia meninggal.
10.    Kemampuan setelah pasangan meninggal untuk memerima uang pensiunnya atau keuntungan lain yang diterima sebagai janda/duda yang ditinggalkannya.

2.2.5        Heteroseksual Dianggap Suatu Ekspresi yang Natural / Alami
Beberapa persoalan tentang “mengapa heteroseksualitas dipertimbangkan sebagai satu-satunya bentuk ekspresi seksual alami?”.Dapat dijawab bahwa pertama kali Tuhan menciptakan manusia, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan yaitu Adam dan Hawa.Sebagai pencipta, Tuhan tahu tentang umat manusia ciptaan-Nya. Tuhan tahu jika akan menguntungkan (fulfill) bagi manusia, akan di beri label ‘benar’ dan jika akan merugikan bagi manusia akan di beri label ‘salah’. Inilah alasan utama mengapa Tuhan merekomendasikan untuk memilih heteroseksual, sebab Tuhan tahu bahwa ini akan memberi banyak keuntungan/kebahagiaan bagi manusia. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan manusia untuk mengerjakan yang baik sesuai dengan perintah-Nya.Alasan lain mempertahankan posisi ini adalah bahwa dalam pernikahan dengan pasangan lain jenis (atau dalam suatu hubungan), prinsip yang sama ini telah terbukti melengkapi pemenuhan.Sebuah aspek praktis heteroseksualitas yang monogami adalah sesuatu yang sesuai dalam masyarakat.Yang lain adalah faktor potensi tambahan terhadap pemberian- pemberian kepada keluarga yang merupakan unit dasar dan pokok dari masyarakat.         
Selama ini kebanyakan orang berpikir dan percaya penuh bahwa semua manusia dilahirkan untuk menjadi insan yang heteroseksual. Coba cermati, pertanyaan apa yang selalu muncul saat seseorang mendengar kelahiran seorang bayi. Tentu, pertama-tama, yang ingin diketahui adalah jenis kelamin bayi itu.Perempuan atau laki-laki.Pertanyaan ini menjadi begitu penting maknanya karena memang bukan hanya sekedar pertanyaan biasa. Melainkan pernyataan secara tidak seperti misalnya bayi yang dilahirkan perempuan maka akan ada sederet harapan yang dipertaruhkan atas jenis kelaminnya. Begitu pula kalau bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki. Salah satu persoalan yang kelak akan menjadi masalah besar adalah segala sesuatu yang menyangkut  perilaku seksnya. Seorang bayi perempuan atau laki-laki bukan sekedar diandaikan akan berpasangan dengan lawan jenisnya.
Tapi hal itu merupakan kewajibannya, karena dalam keyakinan kita memang harus begitu.Itu merupakan sesuatu yang ‘kodrati’ sifatnya, sesuatu yang ‘alamiah’, sesuatu yang ‘udah dari sononya begitu’.Andai terjadi hal-hal berbeda dari yang dianggap kodrati, maka orang yang bersangkutan dituduh bukan manusia lagi, karena dia muncul sebagai sosok diri yang dianggap ‘tidak kodrati’.Keharusan untuk menjadi heteroseksual, atau heteroseksualitas yang dipaksakan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap manusia.itu toh muncul dari nilai-nilai heteroseksual.
Contoh lain adalah saat dewasa perempuan akan tertarik pada laki-laki dan begitu pula sebaliknya, kemudian mereka akan berpacaran dan selanjutnya menikah. Aturan yang mewajibkan perempuan kawin dengan laki-laki.
Akhirnya Heteroseksual dianggap sebagai satu-satunya bentuk natural dari ekspresi seksual dari manusia.Kita akhirnya terpaksa mengakui mitos tentang heteroseksualitas sebagai satu-satunya seks yang ‘normal’.Kita bahkan berada jauh di luar pemikiran bahwa semua nilai-nilai dan moralitas yang sifatnya mutlak, dominan, dan berlaku dimana-mana sebenarnya adalah hasil pemikiran manusia sendiri yang semata-mata tujuannya hanya untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu.Berdasarkan hal itu, semua yang tidak cocok dengan pemikiran-pemikiran itu dianggap tidak memiliki nilai dan tidak bermakna.Maka konsekuensinya kita memiliki perwujudan seksual yang berbeda dianggap tidak seharusnya ada atau setidak-tidaknya tidak diakui keberadaannya.


2.2.6        Penyesuaian peran seks dewasa ini
Penyesuaian peran seks pada masa dewasa dini sejauh ini masih sulit.Sebelum masa remaja berakhir, sebenarnya anak laki-laki dan perempuan telah menyadari pembagian peran yang disepakati oleh masyarakat, tetapi belum tentu mereka mau menerima sepenuhnya. Banyak gadis remaja ingin berperan sebagai ibu dan isteri yang baik saat dewasa nanti, akan tetapi setelah dewasa mereka tidak mau menjadi isteri yang tunduk pada suami, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan hanya memiliki sedikit minat dan kegiatan luar (sesuai pengertian tradisional). Alasan mereka dijelaskan oleh Arnoto dan Bengston.
Peran “pengatur rumah tangga” (“homemaker”) kurang dihargai di Amerika Serikat dimana pekerjaan menjadi kunci untuk menentukan status suatu peran, dan prestasi dan kekayaan cenderung dijadikan patokan untuk menentukan peringkat sosial.Dalam masyarakat Amerika masa kini wanita cenderung menyerap nilai-nilai yang dianut para pria yang duduk bersama-sama mereka di bangku sekolah.Mereka menjadikan pria-pria ini acuan dalam membandingkan penghargaan dan imbalan untuk peran-peran tertentu.Wanita berpendidikan yang berperan sebagai ‘pengelola rumah tangga saja’ merasa dipojokkan dalam distribusi status sosial.Peran sebagai ‘pengelola rumah tangga-plus’ (seperti bekerja di luar rumah disamping mengerjakan tugas-tugas rumah tangga) mungkin akan membawa penghargaan sosial yang lebih besar.
Banyak wanita muda saat ini, mengharapkan perkawinan atas dasar persamaan hak.Dalam hal ini terjadi pergeseran dalam pola kehidupan orang dewasa.Lambat laun konsep tradisional, yang merupakan konsep peran seks dewasa, termodifikasi atau bahkan tergantikan konsepnya dengan konsep baru, yaitu konsep peran seks egalitarian.Konsep ini lebih menekankan persamaan antara pria dan wanita.

Seksualitas Tradisional dan Moderen Dalam Konsep Peran Seks Dewasa :
1.         Konsep Tradisional
-       Tidak memperhitungkan minat dan kemampuan individual.
-       Peran peran ini menekankan superioritas maskulin dan tidak tolerir pada setiap pekerjaan yang memberi kesan kewanitaan.
Pria
Di rumah: pencari nafkah,pembuat keputusan, penasehat dan tokoh yang mendisiplin anak-anak,serta menjadi model maskulinitas bagi putera-puteranya.
       Di luar rumah: pria menduduki posisi yang berwenang dan berprestise dalam dunia bisnis.
Wanita
Peran wanita disini berorientasi pada pengabdian terhadap orang lain. Wanita tidak diharapkan bekerja di luar rumah, jikalau pun wanita harus bekerja, biasanya dalam bidang pelayanan seperti perawat, dan guru.
2.         Konsep Egalitarian
Konsep egalitarian atau persamaan derajat menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita.
Pria
Baik dirumah maupun di luar rumah, pria dapat bekerja sama dengan isterinya. Dan ia pun tak merasa malu jika isterinya mempunyai pekerjaan yang lebih besar penghasilannya dan berprestise darinya.
Wanita
Di rumah maupun di luar rumah, wanita mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi serta pendidikannya. Banyak wanita muda menyadari bahwa prestise (prestige : pengaruh,reputasi) yang rendah adalah dikaitkan dengan peran tradisional seorang isteri dan ibu, maka motivasi mereka untuk belajar peran ini rendah. Apabila mereka menjadi isteri dan ibu, mereka mengerti bahwa kecil kemungkinannya untuk membebaskan diri dari peran sebagai ibu untuk memainkan peran lain yang secara pribadi lebih memuaskan dan bermanfaat.

Pada kenyataannya, konsep tradisional yang telah ada telah dimodifikasi atau bahkan diganti dengan konsep egalitarian (persamaan derajat) antara wanita dan pria.
Berikut ini merupakan perbedaan antara konsep peran seks yang tradisional dan egalitarian.

Konsep Tradisional
Konsep Egalitarian
Konsep
Tidak memperhitungkan minat dan kemampuan individual. Peran-peran ini menekankan superioritas maskulin dan tidak tolerir pada setiap pekerjaan yang memberi kesan kewanitaan.
Konsep egalitarian atau persamaan derajat menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita
Pria
Di rumah: pencari nafkah, pembuat keputusan, penasehat dan tokoh yang mendisiplin anak-anak, serta menjadi model maskulinitas bagi putera-puteranya.
Di luar rumah: pria menduduki posisi yang berwenang dan berprestise dalam dunia bisnis
Baik dirumah maupun di luar rumah, pria dapat bekerja sama dengan isterinya.
Dan ia pun tak merasa malu jika isterinya mempunyai pekerjaan yang lebih besar penghasilannya dan berprestise darinya.
Wanita
Peran wanita disini berorientasi pada pengabdian terhadap orang lain. Wanita tidak diharapkan bekerja di luar rumah, jikalau pun wanita harus bekerja, biasanya dalam bidang pelayanan seperti perawat, dan guru
Di rumah maupun di luar rumah, wanita mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi serta pendidikannya.

2.2.7        Beberapa Variasi Dari Heteroseksual
Variasi dari heteroseksual yang dilakukan oleh masyarakat heteroseksual, yaitu:
1.   Pasangan suami istri (marriage)
2.   Pasangan sex sebelum nikah (pre marital sex)
3.   Pasangan sex di luar nikah (extramarital sex )
4.   Pasangan kumpul kebo (cohabitation)

Hubungan heteroseksual secara umum terlihat lebih menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan (menurut psikiater Alexander Lowen, 1975). Seseorang untuk menjadi atau berorientasi heteroseksual atau non heteroseksual di pengaruhi oleh (White Remarks, 1977):
a.    Perbedaan hormon secara fisik
b.   Gen ( Genetic )
c.    Kromosom ( Chromosome )

Menjadi heteroseksual atau homoseksual tidak hanya berasal dari gen, kromosom dan lain sebagainya, tetapi juga dipengaruhi oleh khayalan dan keinginan secara regular (teratur) melalui kecocokan yang dibangun, diperkuat dan dianggap normal melalui pernyataan yang konstan (Butler, 1993). Beberapa peneliti menunjukkan bahwa dorongan untuk menjadi heteroseksual atau yang lain tersusun dan dikuatkan pada masa anak-anak, remaja dan dewasa melalui bahasa, ritual dan interaksi.Beberapa kaum feminis mengkritik dan menolak segala bentuk heteroseksual sebab hal ini akan menyebabkan seorang laki- laki akan lebih dominan atau dengan kata lain akan mengekalkan dominasi pria dan heteroseksual merupakan mekanisme kunci untuk mengontrol perempuan (Andrienne Rich, 1984).

2.3    Homoseskual
Menurut Katchadourian (1989) secara sederhana homoseksual didefinisikan sebagai atraksi atau aktivitas seksual antara sesama jenis.Prefiks “homo” dalam homoseksual berasal dari bahasa Yunani yang artinya “sama” bukan merujuk pada bahasa Latin homo yang berarti “laki-laki”.Dengan demikian homoseksual diartikan sebagai hubungan seksual dengan sesame jenis, bukan hubungan seksual dengan laki-laki.Seseorang dikatakan homoseksual didasarkan pada perilaku, orientasi, identitas atau karena ketiga hal tersebut.Homoseksual dipandang sebagai suatu kesatuan, yaitu klaster perilaku dan karakteristik personal.Aktivitas seksual antar kaum homoseksual biasa disebut dengan sodomy atau buggery yang pada dasarnya merujuk pada anal intercourse. Sebenarnya tidak ada yang secara spesifik dilakukan oleh para homoseksual karena mereka melakukan apa yang dilakukan oleh kelompok heteroseksual, seperti ciuman, sentuhan, pelukan, breast stimulation, fellatio, oral seks, dan anal intercourse, kecuali melakukan vaginal intercourse.
Homoseksualitas merupakan sebuah rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis atau tidak , dimana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin sama. Homoseksualitas merupakan salah satu bentuk orientasi seksual yang berbeda, tidak menyimpang serta mempunyai kesejajaran yang sama dengan heteroseksualitas  (Kadir, 2007).  Fehr (1998) dalam Kadir (2007), mencoba mengonsepsikan posisi seksual kaum homoseksual sebagai berikut : “Category membership is therefore an all or none phenomenon, any instances   that meets criterion is a member ; all other are non member. Boundaries between concept are this clearly defined. Because each member must posses the particular set attributes that is the criterion of category inclusin, all member have a full and equal degree of membership and therefore are equally representative of the category”.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan sexual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseks (Kertbeny, 1990).Homoseksual dapat mengacu pada : a) orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama, b) perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender, c) identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual.
2.3.1        Penyebab terjadinya homoseksual
Beberapa teori yang lain menyebutkan, penyebab dari homoseksual adalah:
1)      Psikodinamika
Charles Socarides (dalam Tobing, 1987, p.54, dalam www.digilib.petra.ac.id) menerangkan adanya 5 tipe penyebab homoseksual, yaitu:
a.    Pre-oedipal, merupakan hasil fiksasi perkembangan pada 0-3 tahun.
b.    Oediphal, timbulnya homoseksual karena kegagalan dalam fase oedipus.
c.    Schizohomoseksuality, schizoprenia dan homoseksualitas yang terdapat pada satu orang.
d.   Situational homosexual,  terjadi karena situasi, misalnya tidak adanya pasangan heteroseksual mengakibatkan seseorang melakukan aktivitas seksual dengan sesama jenis.
e.    Variational homosexual, sebagai variasi dari perilaku seksual seorang heteroseksual.
Sementara itu Alien (1969, p.207) dalam www.digilib.petra.ac.id percaya bahwa homoseksualitas (pada laki-laki) dapat disebabkan oleh empat hal:
a.    Penolakan terhadap ibu
Afeksi terhadap ibu (atau pengganti figur ibu) merupakan jembatan psikologis bagi seorang anak laki-laki untuk memindahkan cinta yang didapat dari figur ibu kepada figur wanita lain. Secara umum seseorang cenderung memindahkan emosi dari orangtua (yang berbeda jenis kelaminnya) kepada pasangannya kelak. Seorang anak yang secara tidak sadar memiliki kebencian kepada ibunya, atau yang tidak pemah  mencintai ibunya, tidak mampu mentransfer afeksi kepada wanita lain karena tidak pernah mengalami dan mempelajarinya.
b.    Kelekatan berlebihan dengan ibu
Merupakan salah satu sisi dari oedipus complex, yang secara umum terbentuk karena penolakan secara "halus" kepada figur ayah. Hal ini dapat terjadi karena figur ayah bagi anak tidak ada, disebabkan sang ayah meninggal sewaktu  anak masih bayi, atau dipaksa oleh keadaan untuk pergi jauh dari keluarganya. Anak laki-laki tidak memiliki contoh untuk pembentukan kepribadiannya, tidak ada sosok maskulin untuk ditiru, sehingga akan mengidentifikasi dirinya dengan ibunya. Mengidentifikasi diri seperti ibu yang seorang wanita, semakin menumbuhkan sisi feminin dan diikuti rasa mampu mencintai sesama laki-laki.
c.    Permusuhan dengan ayah
Permusuhan dengan ayah juga merupakan salah satu sisi dari Oedipus complex.Merupakan hal sangat umum dalam penelitian mengenai homoseksualitas.Banyak ditemukan perilaku homoseksual karena figur ayah adalah seseorang yang destruktif, seperti pecandu minuman keras, brutal dan memperlakukan ibunya dengan buruk.Hal inilah yang membuat seorang anak laki-laki dengan tanpa paksaan memilih mengidentifikasi dirinya dengan figur yang lebih feminin.Pilihan menjadi individu yang lebih feminin sangat dipengamhi oleh faktor-faktor ketidaksadaran individu.
d.   Afeksi berlebihan terhadap ayah yang kurang mampu berperan sebagai ayah
Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga di mana sang ayah tidak mampu berperan sebagai ayah yang baik (tidak mencerminkan sisi maskulin sama sekali), sehingga ditinggalkan istri, dapat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak menjadi seorang homoseksual. Dalam beberapa kasus anak yang dibesarkan dengan figur ayah yang tidak maskulin mungkin saja memperoleh informasi bahwa ibunya/wanita itu kejam, sehingga anak semakin memuja ayahnya.Akibatnya secara tidak sadar anak mentransformasi simbol-simbol obyek seksual wanita menjadi bentuk seksual laki-laki.Payudara ditransformasikan dengan bentuk pantat dan penis, vagina diganti dengan anus dan mulut. Hal inilah yang menyebabkan mengapa homoseksual laki-laki sering melakukan oral sex.

2)      Biologik Hormonal
Ellis pada tahun 1901 menyatakan bahwa ada/tidaknya homoseksualitas adalah keadaan yang didapat seseorang sejak ia lahir, sehingga menjadi homoseksual bukanlah sesuatu yang immoral, bahkan banyak homoseksual yang memberi kontribusi menakjubkan dalam masyarakat (Robinson, 1976 dalam APA n.d. Guidelines for psychoterapy with lesbians, gay and bisexual clients.Facts about homosexuality and mental health). Aktivis gay mengklaim bahwa kelompok ini menjadi homoseksual karena menurut mereka memang "dilahirkan" untuk menjadi homoseksual, sehingga tidak bisa mengubah maupun menghentikan dorongan dan perilaku homoseksualnya. Pada tahun 1992, Isay yang merupakan anggota komite American Psychiatric Association untuk masalah gay, lesbian, dan biseksual, mengemukakan pendapatnya bahwa penyebab homoseksual adalah konstitusional (biologis, telah ada sejak lahir).
Berdasarkan kajian ilmiah, beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual (dalam Rianti, 2008), dapat dilihat dari :
a.       Susunan Kromosom
Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom y dari ayah.Kromosom y adalah penentu seks pria.Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap berkelamin pria.Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter yang memiliki tiga kromosom seks yaitu xxy.Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran bayi.Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy.Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.
b.      Ketidakseimbangan Hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon yang dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita ini sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen dan progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan perkembangan seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.
c.       Struktur Otak
Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya sama dengan straight males, dan gay females ini biasa disebut lesbian.
d.      Kelainan Susunan Syaraf
Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan syaraf otak dapat mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual.Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.
3)      Pengaruh Budaya dan Life Style
Pengaruh Budaya
Aktivitas homoseksual lebih sedikit terdapat pada kelompok orang-orang yang sangat memperdulikan agama, sebaliknya aktivitas homoseksual banyak terdapat pada kelompok yang kurang memperdulikan religiusitasnya.Pada tahun 198, Family Research Institute mengadakan penelitian yang menunjukkan hasil bahwa individu yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang religius, memiliki kecenderungan 4 kali lebih besar terlibat aktivitas homoseksual.Penelitian ini menyadarkan bahwa ketika seseorang percaya bahwa homoseksual merupakan hal yang imoral maka mereka cenderung menghindari perilaku tersebut.Faktor budaya merupakan faktor yang sulit dibuktikan keterkaitannya dengan timbulnya perilaku homoseksual pada seseorang, karena budaya masih terbagi dalam banyak bagian yang lebih kecil dan berbeda-beda antara homoseksual satu dengan lainnya (Kinsey, 1998, p.111). Cameron juga menjelaskan bahwa ada 4 faktor kategori terpenting mengenai penyebab homoseksualitas (dalam What Causes Homosexual Desire and Can It Be Change?,n.d.. Family Research Institute, para. 3-6), yaitu:
a.     Pengalaman Homoseksual
Pengalaman homoseksual pada masa kanak-kanak, terutama apabila pengalaman tersebut merupakan pengalaman pertama yang dilakukan  dengan orang dewasa termasuk kontak homoseksual bersama dengan orang dewasa, khususnya dengan saudara. Ini disebabkan oleh pengaruh “jebakan” atau sebaliknya karena “terjebak” dalam pengalaman seksual yang pertama kali. Apabila seorang remaja, yang belum berpengalaman heteroseksual, sudah dihomoi (dipaksa atau diperkosa oleh sejenisnya), ia akan sulit menilai kenikmatan hubungan heteroseksual secara proposional. Pengalaman seksual pertama dengan sejenisnya mendorong emosi erotiknya untuk mengulangi.Kasus Endy dapat menjadi contoh bagaimana pengalaman seksual pertamanya dapat mempengaruhi perilaku seksualnya.Keluguan Endy sebagai remaja dimanfaatkan Hengky yang sudah dianggap sebagai kakaknya.Kasih sayang yang diberikan Hengky dengan sering memberikan ciuman, elusan kepala atau mengusap wajah diartikan Endy sebagai ungkapan rasa sayang seorang kakak.Namun, lama kelamaan Endy mulai sering diajak nonton BF yang menjadikan Endy sering terangsang.Ditengah perasaan yang belum pernah dialami sebelumnya, tiba-tiba Hengky memeluk Endy dan merebahkannya ke ranjang.Seperti orang yang terhipnotis, akhirnya Endy tidak berdaya untuk menolak atau berontak karena sungkan dan rasa hormatnya kepada Hengky yang dianggapnya sebagai kakak.Sejak itu Endy mulai terpengaruh dan sering melakukan hubungan seks dengan Hengky. Hubungan yang terjadi diantara pasangan homoseksual tidak jarang dilatarbelakangi hubungan terstruktur senior yunior, guru murid atau atasan bawahan. Pada hubungan seperti ini orang yang mempunyai posisi sebagai senior atau atasan akan mempunyai power untuk memaksakan kehendak kepada bawahan.
b.    Abnormalitas keluarga
Termasuk didalamnya ibu yang dominan, posesif atau ibu yang menolak kehadiran individu, ketiadaan figur ayah, jauh atau ayah yang menolak kehadiran individu, orangtua yang memiliki kecenderungan homoseksual, saudara yang memiliki kecenderungan homoseksual, terutama tipe yang menganiaya saudara laki-laki/saudara perempuannya, kurangnya religiusitas dalam lingkungan rumah. perceraian, yang seringkali mencetuskan masalah seksual baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa, orangtua yang memiliki model peran gender modern. Artinya, adanya pergeseran peran sosial antara pria dan wanita.Misalnya, suami banyak melakukan aktivitas domestik karena isteri bekerja untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Pengakuan homoseksualitas sebagai gaya hidup yang bisa diterima dalam lingkungan keluarga.
c.     Pengalaman seksual yang tidak wajar
Terutama pada masa kanak-kanak: masturbasi yang berlebihan, pengungkapan pornografi di masa kanak-kanak, bagi anak perempuan, melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dewasa.
d.    Pengaruh budaya
Penerimaan sosial terhadap sub-kultur homoseksual, yang mengundang rasa ingin tahu dan mendorong eksplorasi.Pendidikan seks yang mendukung homoseksualitas dan danya figur berkuasa yang secara terbuka mengakui identitasnya sebagai homoseksual, toleransi sosial dan hukum terhadap tindakan homoseksual, penggambaran homoseksualitas sebagai perilaku yang normal dan/diinginkan.
 Life Style
Bila kita lihat gaya hidup masyarakat dunia, khususnya Indonesia, tidak mengherankan bila jumlah kaum homoseksualitas akan terus meningkat tiap tahunnya. Tuntutan karir dan gaya hidup metropolitan telah memaksa para orang tua kehilangan waktu dengan dengan anak-anaknya. Anak-anak pun mulai kehilangan figur bapak dan atau ibu.Efektivitas “waktu keluarga” nampak sangat penting di sini.

2.3.2        Klasifikasi homoseksual
Dalam ilmu psikologi, ada dua macam homoseksual yaitu :
1.   Homoseksual Egosintonik
Adalah seseorang homoseksual yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada desakan , dorongan atau berkeinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. Orang-orang homoseksual tipe ini mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan dan ekonomi sama tingginya dengan orang-orang yang bukan homoseksual. Wanita homoseks dapat lebih mandiri, fleksibel, dominant, dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan tenang.
Kelompok homsoseks ini tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis lebih banyak daripada para heteroseks karena pada hakikatnya mereka menerima dan tidak terganggu secara psikis dengan orientasi seksual mereka sehingga mampu menjalankan fungsi social dan seksualnya secara efektif.
2.   Homoseksual Egodistonik
Homoseks egodistonik adalah homoseks yang mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis.Ia senantiasa tidak atau sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan hal itu menghambatnya untuk memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya. Secara terus terang ia menyatakan bahwa dorongan homoseksualnya menyebabkan dia merasa tidak disukai, cemas dan sedih. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan tidak bersalah, kesepian, malu, cemas dan depresi. Karenanya, homoseksual ini dianggap sebagai gangguan psikoseksual.

2.3.3        Jenis – jenis homoseksual berdasarkan orientasi seksual
Menurut Bekert (1898) dalam Kadir (2007), menggolongkan orientasi homoseksual kedalam kajian patologis medis yang disejajarkan dengan berbagai penyakit kejiwaan lainnya seperti gangguan mental dan kegilaan.Kemudian Hirschfeld dan Havelock Ellis mengembangkan teori ini. Dengan semakin berkembangnya analisa patologis maka homoseksual juga masuk dalam klasifikasi gangguan psikoseksual lainnya seperti kegemaran melihat kegiatan seks orang lain (voyeurisme), kesenangan melakukan seks dengan berbagai benda sembari membayangkan wajah sang kekasih atau terobsesi dengan bagian-bagian tertentu orang yang dicintai (kaki, tangan, rambut) atau barangnya (sapu tangan, bikini) (fethisme), nafsu yang berlebihan dalam melakukan hubungan seksual (satyriasis bagi laki-laki dan nymphomania bagi perempuan), hobi dalam menggunnakan pakaian/segala sesuatu yang berkenaan dengan lawan jenis (transvestitisme).
Alfred Kinsey, membagi orientasi seksual secara positifistik, sebagai berikut :
Nilai
Pernyataan
0
Heteroseksual ekslusif
1
Heteroseksual lebih menonjol (predominan), homoseksualnya Cuma kadang-kadang
2
Heteroseksual predominan, homoseksual lebih dari kadang-kadang
3
Heteroseksual dan homoseksual seimbang
4
Homoseksual predominan, heteroseksual lebih dari kadang-kadang
5
Homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang
6
Homoseksual ekslusif

Dari skala tersebut dapat terbaca bahwa angka 0 mewakili heteroseksualitas, sedangkan angka 6 mewakili homoseksualitas secara ekslusif.Pada angka 1 menggambarkan orientasi heteroseksualitas yang lebih dominant, dimana kecendrungan homoseksualhanya timbul secara kadang-kadang dan jarang.Sedangkan angka 5 menggambarkan orientasi homoseksualitas yang lebih dominant, dan kecendrungan heteroseksual hanya timbuk secara kadang-kadang dan jarang. Angka 3 menggambarkan tarik menarik antara homoseksualitas dan heteroseksualitas yang sama-sama kuat dan dominan. Dengan kata lain jenis ini termasuk pada tataran biseksual.
Secara defenitif jika melihat pada dialektika antar hetero-homoseks, maka perilaku kaum homoseks dapat dibagi ke dalam tujuh bagian, yakni :
a.   Pertama, murni heteroseksual
b.   Kedua, lebih dominant heteroseksual, namun sekali waktu terdorong melakukan tindakan homoseksual, hal ini tampak pada perilaku seksual sejenis di penjara, dan beberapa kondektur bus atau sopir truk di jalur Pantura yang melakukan oral seks atau hubungan anal dengan waria ketika uang mereka mulai menipis (harga kencan dengan waria terkadang setengah atau lebih murah dari harga PSK perempuan). Pola serta aktivitas homoseksual ini lebih bersifat situasional tergantung ruang dan waktu.
c.    Ketiga, lebih dominant heteroseksual, namun juga sering melakukan tindakan homoseksual.
d.   Empat, perilaku heteroseksual dan homoseksual seimbang. Ketertarikan yang seimbang ini biasa disebut juga sebagai biseksual, istilah ini merupakan rujukan keadaan perilaku psikoseksual yang menempatkan dua jenis kelamin sebagai objek seksual dalam ambivalensi yang seolah seimbang. Pelaku biseksual dapat mengalami perangsangan erotik baik dari laki-laki maupun perempuan, sehingga kaum biseksualdapat melakukan hubungan intim dengan pasangan laki-laki atau perempuan.
e.    Lima, lebih dominant homoseksual, namun juga sering kearah heteroseksual.
f.    Enam, lebih dominan homoseksual, sekali waktu heteroseksual.
g.   Tujuh, murni homoseksual

Idealnya identitas seksual kita selaras dengan orientasi dan perilaku seksual kita.Tahap-tahap pembentukan identitas memberi kerangka untuk membantu pemahaman. Orang akan berkembang melalui tahap-tahap ini pada waktu yang berbeda-beda. Sebagian akan tetap pada tahap tertentu, sementara yang lain akan kembali ke tahap-tahap sebelumnya.
Menurut Sigit (2007), seorang homoseks mempunyai tahap-tahap perkembangan identitas, yaitu :
1.      Kebingungan Identitas
Membuka diri bermula ketika individu menjadi sadar bahwa pikiran, perasaan dan perilakunya bertentangan dengan cara bagaimana ia diajarkan untuk memandang dirinya (sebagai heteroseks). Perasaannya yang baru dapat disebut homoseks atau biseks.Dia mulai memandang homoseksualitasnya relevan secara pribadi.Karena perasaanya bertentangan dengan identitas yang dibayangkan sebelumnya, dia akan mengalami keresahan dan kebingungan. “Siapa diriku”. Merasa dikucilkan dan meragukan diri sendiri. Apabila ia mulai menerima perasaan baru pada dirinya, maka ia akan mencari informasi. Namun bila tidak identitas negatif atau penuh benci diri mulai berkembang.
2.      Perbandingan Identitas
Sembari mulai menerima homoseksualitasnya, individu ini menyadari perbedaan antara dirinya dengan orang lain. Dia akan merasa hilang dan kesepian sementara semua harapannya tentang perilaku dan masa depan. Muncul pertanyaan “masuk kemana aku ini”.Seringkali homoseks disamakan dengan seks yang menyimpang, penyakit kejiwaan dan lain-lain.Oleh karenanya mereka mulai berpikir soal bergaul dengan orang-orang homoseks lainnya.
3.      Toleransi Identitas
Penerimaan individu terhadap homoseksualitasnya yang membawa dua konsekuensi :
a.       Kebingungan dan keresahan berkurang, sehingga ia dapat mengakui keperluan social, seksual dan emosinya.
b.      Perbedaan antara bagaimana ia memandang dirinya dan bagaimana orang lain memandang dirinya bertambah.
4.      Penerimaan Identitas
Individu dapat memandang dirinya sebagai homoseksual secara positif.Pergaulan dengan orang-orang homoseks memberinya kesempatan untuk mengembangkan kelompok/partner namun identitas diri sebagai homoseks belum diketahui umum.Hubungan dengan keluarga dapat menjadi jelas sementara individu kian yakin akan identitasnya.

5.      Kebanggaan Identitas
Adanya pertentangan antara komitmen pada dirinya sendiri serta orang-orang homoseks lainnya dengan penolakan masyarakat terhadap homoseksualitas.Hal ini dapat mengakibatkan suatu perasaan kebanggaan.Dia dapat mengembangkan suatu komitmen yang kuat terhadap budaya dan komonitas homoseks serta suatu amarah terhadap penolakan masyarakat.


6.      Sintesis Identitas
Pergaulan homoseks menjadi lebih luas dan terbuka ke masyarakat. Pada tahap ini identitas menjadi terintegrasi dengan semua aspek dirinya yang lain. Homoseks dianggap bukanlah suatu persoalan dalam hal bagaimana ia melanjutkan hidupnya.

2.3.4        Perilaku seksual kaum homoseksual
1)    Kebutuhan Seksual Kaum Homoseksual
Seks dalam arti yang luas merupakan energi psikis yang turut mendorong manusia untuk bertingkah laku dalam relasi seksual maupun aktivitas non seksual.Akibatnya, seks menjadi sebuah mekanisme bagi manusia agar mampu mendapatkan keturunan.Bagi seorang homoseks, dorongan seks yang sifatnya erotik dipuaskan melalui hubungan seks dengan relasi sejenisnya. Bagi yang memiliki pasangan tetap, kebutuhan seksual dapat dilakukan kapanpun tanpa melalui proses mencari pasangan kencan atau transaksi. Sebaliknya, kaum homoseks yang belum mempunyai pasagan tetap untuk memenuhi kebutuhan seksualnya harus melalui proses pencarian terlebih dahulu, padahal kebutuhan seksualnya bisa muncul secara tiba-tiba.
Seperti layaknya manusia normal, secara batiniah kepuasan seksual tidak selamanya dilakukan dengan hubungan seks.Lebih dari itu, rasa sayang, rasa mencintai, rasa aman, dan rasa sependeritaan merupakan hal yang juga harus dipuaskan.Pemenuhan kebutuhan ini dapat dilakukan jika mereka mempunyai pasangan hidup.Bagi kaum homoseks pasangan hidup yang diperoleh bisa dua macam, yaitu pasangan hidup yang memang sudah gay, atau pasangan hidup yang awalnya adalah lelaki normal.
Laki-laki yang homoseksual mempunyai peran yang berbeda dalam kegiatan seksualnya, yaitu : 1) Laki-laki yang senantiasa berlaku memasukkan (insertif) penis nya ke dalam anal pasangan seksnya, 2) Laki-laki yang senantiasa berlaku menerima pemasukan (reseptif) penis pasangannya ke dalam anusnya, 3) Laki-laki yang tidak melakukan anal seks tetapi saling melakukan oral seks dan masturbasi (timbal balik melakukan seks oral dan masturbasi, dan 4) Laki-laki yang melakukan peran dan kegiatan berbeda pada masa yang berbeda dalam hidupnya.


2)   Bentuk Perilaku Seks Aman Kaum Homoseksual
Untuk menciptakan perilaku seks yang aman, cara yang dipilih oleh komunitas homoseksual di Surabaya adalah :
a.    Mengurangi jumlah pasangan
Meminimalkan jumlah pasangan dan jeli dalam memilih pasangan merupakan cara-cara yang ditempuh kaum homoseks untuk mengurangi risiko tertular PMS.
b.   Menghindari melakukan hubungan anal seks
Aktivitas seksual yang dilakukan, terutama terhadap pasangan yang baru dikenal, berkisar pada ciuman basah, merancap dan oral seks.Bentuk-bentuk aktivitas seksual seperti itu dianggap cukup aman untuk mereka.Anal seks hanya dilakukan dengan pasangan tetap atau dengan pasangan yang sudah berhubungan cukup mendalam dan mantap.
c.    Memakai kondom
Ada sebagian kaum homoseks yang sangat berhati-hati. Meski dorongan seksnya sudah menggebu-gebu, bila tidak ada kondom, ia tidak berani melakukannya. Kebiasaan yang dilakukan homoseks, ia tidak akan puas hanya dengan saling mencumbu, merancap atau oral seks. Ia baru akan terpuaskan apabila melakukan anal seks, namun bentuk ini cukup berbahaya, terutama jika dilakukan bukan dengan pasangan tetapnya.
d.   Sumber Informasi Perilaku Seks Aman
Informasi yang berkaitan dengan seksualitas dikalangan kaum homoseksual umumnya diperoleh dari teman. Hal ini wajar mengingat dorongan seksual muncul pada kurun usia reproduktif, yang pada usia tersebut seseorang lebih terikat pada kelompoknya daripada keluarganya.

2.3.5        Seksualitas dan Pertentangan Budaya : Diskursus Homoseksualitas di Indonesia
Hubungan seksual sesama jenis saat ini digambarkan bukan saja bisa disebut immoral, non relijius, abnormal, menyimpang (deviant), melainkan juga bahaya, jahat (kriminalitas) dan merupakan ancaman terhadap integritas bangsa. Padahal kebudayaan kuno Nusantara secara konsep mempunyai keragaman hubungan homoseksual yang tidak menjadi denyut problematik dalam kehidupan serta keseharian mereka.Kekayaan sensual serta seksualitas yang dimiliki kebudayaan kita menunjukkan bahwa sejak jaman dahulu masyarakat Indonesia telah menggunakan konsep hubungan seks yang didasarkan tidak hanya pada jenis kelamin yang berbeda, namun juga jender yang berbeda. Dan tentunya jenis kelamin yang sama dalam hubungan seks bukan menjadi sebuah permasalahan yang menggelisahkan.
Unsur homoseksualitas pada Serat Centhini terdapat pada cerita mengenai Nurwitri dan Cebolang yang diperlakukan sebagai pihak feminine ketika mereka bertemu Adipati di Kabupaten Daha. Sebelum meniduri dan melakukan hubungan seksual melalui dubur Nurwitri, sang Adipati mewajibkan mereka mengenakan pakaian kewanitaan untuk menari dihadapnnya. Demikian pula hal tersebut dilakukan pada Cebolang yang notabene lebih maskulin disbanding Nurwitri.
Namun secara konsepsi seksual, pada setiap kebudayaan selalu terdapat kelompok atau individu yang menganut orientasi seks yang berbeda dengan dominan yang lainnya.Homoseksualitas merupakan suatu objek yang sering hadir dan dianggap “tidak normal”. Homoseksualitas cenderung dianggap oleh masyarakat dominant sebagai sebuah orientasi seks yang keluar dari jalur “keseluruhan cara hidup”. Secara politis orientasi homoseksual, juga dianggap bagian dari kegagalan the minor term dalam menyesuaikan diri dengan identitas jender (feminine-maskulin) dan seksual (laki-laki-perempuan) yang telah terstruktur jelas di Indonesia. 
Di Indonesia diskursus homoseksualitas dibentuk setidaknya oleh tiga hal yakni : 1) Pada zaman masuknya dan berkembangnya Islam yang berlaku hingga kini,
2) Pada masa colonial, dan
3) Infiltrasi keilmuan medis dalam hal ini pihak psikologis/psikiater hingga rumah sakit jiwa.

1)        Homoseks Dalam Agama Dominan di Indonesia
Agama mayoritas penduduk Indonesia hingga saat ini adalah Islam. Agama yang berasal dari Timur Tengah ini secara spesifik mencirikan dirinya sebagai agama yang dominan dengan nilai moralitas, yang datang ke Nusantara menggeser agama-agama dari Asia Tengah/Selatan yang dominant dengan nilai estetika (Weeks, 1981 dalam Kadir, 2007). Islam cenderung memisahkan dengan jelas antara sakral dan profane, sedangkan agama Hindu-Budha dalam memandang seksualitas mempunyai batasan yang terkadang abstrak.Agama local menjadi terancam keberadaannya ketika gerakan Islam modernis masuk ke Indonesia. Karena Islam sama sekali tidak mengakomodasi local genius seperti kesenian tradisional yang mengandung cinta sejenis (seperti reog). Agama Islam memandang seksualitas selalu terkait erat dengan disiplin moralitas tubuh, wacana patriarki, virginitas, prokreasi, heteroseksual, fungsi kekerabatan yang semuanya berdasarkan Al-Qur’an.Tak terkecuali juga dengan Katolik. Ketidaksetujuan Iman Kristen yang dilandaskan pada doktrin dan tafsiran mereka atas Alkitab. Mereka memandang bahwa tidak terdapat satu ayatpun yang merestui hubungan homoseksualitas, serta ditemukannya ayat-ayat yang mengutuk homoseksualitas, seperti kisah Sodom dan Gomorah dan kisah-kisah lain di Perjanjian Lama dan di Perjanjian Baru. Pengutukan atas homoseksualitas juga dipertegas melalui pemahaman Gereja atas pernikahan, yang mempersatukan pria dan wanita (dengan Kitab Kejadian dan Injil Martius sebagai sumber rujukan) (Kadir, 2007).
Agama memandang seksualitas sebagai sesuatu yang agung karena ia merupakan penyambung hidup dan pengganda keturunan. Hasil dari hubungan itu adalah seorang anak yang diharapkan dan dianggap sebagai titipan Yang Kuasa.
2)        Homoseks Pada Masa Kolonial
Undang-Undang di Inggris pada tahun 1861 menyatakan bahwa pelaku homoseksual dapat dituntut hukuman mati sebagai yang terberat dan yang teringan adalah antara 10 tahun sampai hukuman seumur hidup. Pada tahun 1885 aktivitas homoseksual dianggap sebagai tindakan kriminal dan melanggar hukum karena ia melawan berbagai aktivitas dominan yang dianjurkan oleh Ratu Victoria yakni seksualitas prokreasi.
Berbagai kebudayaan Nusantara yang mengandung unsur kuat percintaan sejenis mengalami transformasi besar-besaran.Hal ini karena dalam sistem koloninya, Belanda tidak lupa mengikutkan garis moral ala Kristen di Abad Pertengahan Eropa yang mencoba untuk memperadapkan kaum pribumi/daerah koloni dengan melarang mereka melakukan onani, sodomi dan sejenisnya.Kaum homoseks semakin terancam di Indonesia, ketika diadakannya witchunt yakni kampanye histeria pengebirian terhadap mereka.

3)        Homoseks Dalam Pandangan Klinis
Represi terhadap kaum homoseks berupa kutukan tidak begitu saja menghilang ketika masuknya kaum intelektual medis mencoba mempatologikan kaum homoseksual sebagai “devian”. Memasuki awal tahun 80-an dibelahan dunia terbangun tesis dengan mewabahnya penyakit AIDS, bahwa penyakit tersebut cenderung diakibatkan oleh hubungan seksual kalangan homo yang mempunyai gaya utama dalam bentuk anal intercourse. Jenis hubungan ini dianggap sebagai biang keladi mewabahnya penyakit AIDS oleh kalangan medis.
Munculnya berbagai stigma tersebut membuat kalangan homoseksual menjadi waspada dengan mengurangi frekuensi hubungan diantara mereka. Salah satu strategi dan gaya seksual yang berkembang di Amerika kemudian adalah phone sex. Di Indonesia saat ini para psikolog masih menganggap homoseksualitas sebagai sebuah tindakan patologis yang memerlukan penyembuhan dan normalisasi.

2.3.6        Homoseksual dan HIV/AIDS
HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual (homoseksual ataupun heteroseksual) dengan seorang yang mengidap HIV, transfusi darah yang tercemar HIV, melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas dipakai orang yang mengidap HIV dan pemindahan HIV dari ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya.
Distribusi umur penderita AIDS di AS, Eropa dan Afrika tidak berbeda jauh, kelompok terbesar berada pada umur 30 – 39 tahun, dan menurun pada kelompok umur yang lebih besar dan lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20 – 30 tahun. Rasio jenis kelamin pria, wanita di negara pola I adalah 10 – 15 : 1 karena sebagian besar penderita adalah kaum homoseksual, sedangkan di negara-negara pola II, rasio ini adalah 1 : 1. Perbandingan antara penderita dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan) umumnya lebih tinggi di daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok masyarakat berisiko tinggi adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasuk kelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfuse darah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV.
Kelompok homoseksual (termasuk biseksual) termasuk kelompok terbesar pengidap HIV di Amerika Serikat.Prevalensi infeksi HIV dikalangan ini terus meningkat dengan pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya 4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidap HIV, 3 tahun kemudian angka ini bertambah menjadi 24 %, 8 tahun kemudian menjadi 80 % dan pada saat ini telah menjadi 100 %. Di London pada tahun 1982, hanya 3,7 % kaum homoseksual mengidap HIV, 3 tahun kemudian menjadi 21 % saat ini telah lebih dari 35 % sehingga diperkirakan pada tahun 1990 menjadi 100 %. Kelompok heteroseksual, kelompok ini di Afrika merupakan kelompok utama dimana homoseksualitas tidak populer.Saat AIDS pertama kali dideteksi pada kaum homoseksual di negara-negara maju, pola hubungan heteroseksual belum menjadi perhatian.Saat ini 4 % kasus AIDS berasal dari kelompok ini. Jumlah ini terus meningkat sehingga diramalkan akan terjadi epidemi AIDS kedua pada kaum heteroseksual.
Menurut Tana, di Indonesia, kelompok seksual minoritas dengan jumlah terbesar dikenal sebagai transeksual atau transgender atau yang dikenal sebagai ‘banci’; ‘waria’;’bencong’ atau ‘wadam’ tergantung asal daerah. Waria pada umumnya berhubungan seks dengan laki laki heteroseksual dan mereka mempunyai identitas perempuan. Di tempat dimana terjadi segregasi seks dalam norma norma budaya, identitas waria mungkin adalah satu satunya bentuk ekspresi homoseksual yang ‘diterima’. Waria ini masih berkait dengan epidemic HIV/AIDS karena banyaknya jumlah klien mereka serta aktivitas seksual yang telah dimulai pada usia dini (30% seks pertama saat SD, 40% saat SMP dan 15% SMA; atau 70% sebelum umur 16 tahun) (Crisovan, 1996). 
Diantara homoseksual terdapat 2 kelompok yaitu laki laki dan homo. ‘Laki laki’ cenderung menyesuaikan pada peran gender laki laki, berpartner dengan perempuan, menikah dan kadang kadang berhubungan seks dengan transeksual (Oetomo, 1991). Kelompok laki laki ini menyebut diri dan dianggap sebagai heteroseksual.  Homo adalah terminologi bagi laki laki gay, yang berpartner dengan hanya laki laki. Di Indonesia, interaksi sosial yang lebih diterima adalah bila salah satu partnernya adalah perempuan. Ini juga berlaku untuk lesbian dan perempuan yang mencintai perempuan. Pada lesbian, terdapat istilah Jawa ‘suntil’ (laki laki) dan ‘cantil’ (perempuan) dan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘cowok’ (laki laki ) dan ‘cewek’ (perempuan). Lesbian cowok adalah sangat maskulin dalam penampilan dan perilaku, sedang lesbian cewek lebih feminine dalam penampilan dan perilaku (Blackwood 1998). Sama halnya dengan laki laki asli, lesbian laki laki berusaha memenuhi perempuan secara normative dengan menyesuaikan dengan norma norma gender yang berlaku, memenuhi hasrat seksual mereka melalui hubungan seks dengan seorang perempuan tanpa dilabel sebagai pelanggar norma gender.
Seperti halnya kaitan antara determinan sosial yang lain seperti kemiskinan dengan kesehatan, kaitan antara gender, seksualitas dan kesehatan bersifat kompleks dan multi dimensi. Belum lagi kontribusi faktor makro lain yang akan berpengaruh pada interaksi ketiganya, seperti budaya dan kebijakan. Karena itu, untuk membicarakan peluang dan tantangan diversitas gender, seksualitas dalam upaya pencapaian kesehatan, akan lebih mudah jika kita langsung membicarakannya dalam konteks kesehatan masyarakat. Menurut Feldman (1994) dan Schoepf (2001), tak ada penyakit lain yang menyangkut dimensi sosial, budaya dan politik sebanyak AIDS.
Saat ini, HIV/AIDS merupakan masalah besar di dunia. Ia merupakan pandemi paling berpengaruh sampai saat ini. Indonesia mengalami proses sedemikian lama mulai saat virus ini relatif tak terdengar pada awal tahun 1980. Pada saat HIV/AIDS muncul pertama kalinya, ia dikenal sebagai penyakit kaum homoseksual, dan penyakit ini dianggap berkembang karena perilaku seks yang dianggap menyimpang dan kutukan dari Tuhan akibat penyimpangan itu. Saat itu, penderita penyakit ini dituduh telah berbuat ’immoral’. Kelompok kelompok relijius bahkan mendiskripsikan AIDS sebagai ’hukuman Tuhan terhadap dosa seksual’ (Overberg 1994: 5). Respon yang berbasis interpretasi moral telah melumpuhkan upaya pencegahan (Beyer, 1998). Lingkungan kebijakan internasional yang berbasis pada kesehatan masyarakat dan teks teks medis yang penuh dengan interpretasi moral memperlambat upaya pencegahan karena adanya penolakan untuk mengatasi isu isu ini. (Schoepf 2001; p. 340). Sebagai hasilnya, kebijakan dan politik HIV/AIDS bertaut dengan retorika. Hal ini menciptakan diskursus dimana AIDS dilihat sebagai penyakit ’orang tertentu’ (Altman 2001). Kelompok kelompok lain ini meliputi orang asing, gay, PSK dan kelompok kelompok lain yang dilihat sebagai sumber penyakit atau berbahaya (Wilton 1997). Mereka yang bukan bagian dari kelompok kelompok ini lalu dilihat sebagai ’bersih, sehat dan aman’ (Hsu et al 2004; p. 209).
Analisis sosiologis dan antropologis tentang HIV/AIDS menyebutkan konstruksi sosial penyakit sebagai stigma sosial. Pemahaman terhadap epidemi AIDS semata mata mengarah pada ”WHO” bukan ”HOW”. ”Kelompok resiko” telah distigmatisasi dan telah menderita sedemikian banyak dari epidemi ini (dan) disalahkan atas penyebaran AIDS. AIDS juga telah dilihat sebagai ’penyakit modern’ dan sebagai hasilnya ritual ritual berbasis budaya seperti sifon atau sirkumsisi tradisional menggunakan pisau tidak steril dianggap bebas dari resiko karena tidak berkaitan dengan modernitas. Pada sifon, terdapat praktek ritual meniduri seorang perempuan (seringkali seorang PSK) segera setelah ritual sirkumsisi sebagai kepercayaan bahwa ini akan memberikan kesembuhan lebih cepat (Crisovan, 1996).
Namun perjalanan epidemiologi penyakit ini ternyata berkata lain. Seiring dengan perjalanan waktu dan maturitas sebaran epidemiologis penyakit ini, sekarang, dapat dikatakan bahwa seorang ibu rumah tangga yang tidak ada kaitannya dengan perilaku seks yang menyimpang dari norma bisa terjangkit HIV. Michael Bloor mengkaitkan diskursus kesehatan masyarakat kelompok ’resiko tinggi’ dengan ’hegemoni agenda untuk mengatur seksualitas, menghukum korban dan surveilans terhadap kelompok kelompok menyimpang (imigran, gay, PSK) (Bloor 1995; p.84 in Crisovan, 2006).
 Konsentrasi kelompok beresiko dapat bertindak sebagai alat untuk menstereotipikan dan menstigmatisasi orang yang telah termarjinalkan atau berada diluar arus utama moral dan ekonomi. Bahkan perluasan terminologi dari ’kelompok beresiko’ menjadi ’perilaku beresiko’ juga menjadi sumber masalah. Seorang perempuan yang tidak mengetahui tingkat kesetiaan suaminya tidak merasa beresiko. Banyak program pencegahan mengabaikan efek negatif penggunaan terminologi ’kelompok resiko’ dan ’perilaku beresiko’ dan menolaknya dengan hanya memfokuskan pada kelompok kelompok ini, yang lebih mudah untuk disasar karena lebih spesifik (Gagnon, 1998). Lebih jauh, menyasar hanya pada ’kelompok beresiko’ untuk upaya upaya pencegahan dan pendidikan memberi persepsi pada masyarakat bahwa mereka tidak berada dalam resiko. Saat ini sebenarnya tidak ada zona aman bagi HIV, karena ancaman penyakit tersebut juga ada ditengah masyarakat umum. HIV kemudian menjadi salah satu isu gender karena meskipun HIV/AIDS mempengaruhi laki laki dan perempuan, namun terbukti bahwa perempuan justru lebih rentan terhadap penyakit ini karena berbagai alasan, yaitu alasan biologi, epidemiologi dan sosial. Proporsi laki laki dan perempuan yang mengidap HIV kemudian hampir mencapai keseimbangan. Menghambat penyebaran penyakit ini secara teoritis adalah sederhana tetapi secara operasional terbukti sulit (Schmid, 2007).






2.4    Biseksual
2.4.1        Definisi biseksual
Ada beberapa definisi mengenai biseksualitas, antara lain :
1.    Sebuah kekuatan atau kapasitas untuk merasakan ketertarikan secara erotik kepada pria dan wanita atau untuk melibatkan diri di dalam interaksi seksual dengan pria dan wanita (Sexual Interactions, Albert & Elizabeth Allgeier; page 510)
2.    Orang-orang yang memiliki ketertarikan seksual atau perilaku seksual dengan semua jenis kelamin (Fox, 1996)
3.    Biseksual adalah orang-orang gay atau lesbian yang takut untuk mengakui dirinya sebagai seorang homoseksual (Eliason, 1997)
4.    Biseksualitas adalah kapasitas untuk ketertarikan secara fisik, romantic dan atau emosional kepada lebih dari satu gender (Bi Any Other Name, Lorraine Hutchins & Lani Ka’ahumanu)
5.    Biseksualitas adalah orientasi seksual yang berkenaan dengan romantic dan ketertarikan seksual seorang individu kepada individu lainnya yang berjenis kelamin sama dan berbeda (Wikipedia)
6.    Biseksual adalah seseorang yang mempunyai dua kepribadian atau bisa disebut juga seperti mempunyai dua kelamin karena mempunyai kedua sifat tersebut.
7.    Biseksual merupakan perilaku atau orientasi seksual seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang tertarik secara seksual dan erotik pada dua jenis kelamin.

2.4.2        Penyebab seseorang menjadi biseksual
Para ahli psikolog atau kedokteranpun masih kesulitan dalam menjelaskan penyebab orang jadi gay, lesby, ataupun biseksual. Seperti yang dikemukakan Sigmun Freud (2007) bahwa pada dasarnya individu sudah memiliki potensi sejak lahir untuk menjadi homoseksual maupun biseksual. Tetapi sebagian besar dari kita mengalami represi pada salah satu sisi. Manusia memiliki sifat biseksual bawaan artinya setiap orang punya dasar dan peluang menjadi biseksual. Merujuk pada teori hormonal bahwa setiap manusia sebenarnya memiliki unsur hormon pria maupun wanita, tarik menarik unsur tersebut sebagai hal yang biasa dan mudah terjadi. Seorang pria yang unsur hormonnya menjadikan seorang heteroseksual, bukannya tak mungkin tertarik dan memiliki fantasi tentang pria. Demikian juga perempuan heteroseksual juga sangat mungkin tertarik pada sesama jenisnya. Sementara hasil penelitian The Kinsey Institute for Research in Sex, Gender, and Reproduction menunjukkan bahwa proses pembentukan orientasi seksual tidak semata keturunan, tapi bisa juga karena faktor-faktor lain seperti lingkungan, situasi dan juga psiko sosial. Artinya, seorang yang lahir secara fisik adalah pria hetero, tapi bisa menjadi biseks. Demikian juga seorang yang dari bawaan adalah homoseksual, karena faktor-faktor lain bisa menjadi biseksual; atau mungkin juga transeksual.
Secara umum, homoseksual maupun biseksual merupakan kaum minoritas dalam masyarakat dan dianggap tidak lazim, tidak normal atau aneh, karena memang mayoritas orang mempunyai orientasi heteroseksual (menyukai lawan jenis), yang selama ini dianggap normal. Kecenderungan berorientasi akan mewujud menjadi tindakan atau perilaku biseksual didorong oleh beberapa keadaan. Diperkirakan bahwa orang mendapatkan dan mengalami kejadian biseksual ini dalam beberapa cara yang berbeda. Bagi sebagian orang hal ini berawal sebagai satu bentuk percobaan untuk menambahkan percikan ke dalam kehidupan seksual mereka, namun itu tidak menjadi karena utama aktivitas seksual. Bagi yang lain itu adalah pilihan yang mereka sengaja untuk berpartisipasi dalam apapun yang terasa paling nyaman saat itu. Beberapa ahli lain juga berendapat bahwa kemungkinan faktor penyebab seseorang menjadi  gay, lesby, ataupun biseksual dipengaruhi oleh banyak faktor :
1.      Faktor Biologis
Yakni ada kelainan di genetik dan hormonal. Faktor hormonal bisa menjadi salah satu pendorong pria maupun perempuan untuk menjadi gay maupun lesbian bahkan biseksual. Ada jenis hormon tertentu dalam dirinya yang lebih dominan. Namun faktor biologis hanyalah pendorong orang untuk berbuat, bukan yang menentukan jenis perbuatan yang harus dilakukan.
2.      Faktor Psikodinamik
Yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak (seperti kasus sodomi pada anak di bawah umur).
3.      Faktor Lingkungan
Yaitu keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis maupun berlawanan jenis menjadi erat. Perilaku seseorang tentu mencerminkan informasi yang dia serap tentang perbuatan itu dari lingkungan sekitarnya. Faktor lingkungan dan mental psikologis lebih besar efeknya bagi terciptanya orientasi seksual. Seseorang menjadi gay, atau lesbi, atau homo, atau biseks bisa dicermati dari dua penyebab. Pertama, bersifat temporer. Seseorang menjadi gay atau lesbi atau homo saat ia berada dalam lingkungan kehidupan sesama jenisnya. "Seseorang yang mendekam di penjara hanya bersama pria lama-lama bisa saja memiliki perilaku seksual gay," ujarnya. Kedua, bersifat permanen, yakni seseorang berperilaku seksual gay sejak akil balig. Pilihan menjadi gay biasanya dalam waktu lama. Jika melepas ke-gay-annya ia sudah termakan usia saat menyulam tali pernikahan bersama wanita. Begitu pula dengan kaum biseksual.
4.      Coba-coba
Perilaku coba-coba untuk memperoleh pengalaman seksual baru sering dilakukan antar sahabat. Percobaan seksual dalam hubungan antara sahabat baik, cukup umum di antara wanita dan bisa pula terjadi antara dua pria berteman baik, atau seorang pria homoseks dapat mengembangkan hubungan seksual dari hubungan yang biasa, namun bersahabat, dengan seorang wanita.
Laki-laki yang telah beristri mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat laki-lakinya. Demikian juga perempuan yang telah bersuami, mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat perempuannya. Perilaku biseksual ini dapat juga muncul dari hasil coba-coba antara laki-laki homoseksual dengan sahabat perempuannya atau antara perempuan lesbian dengan sahabat laki-lakinya. Jadi, fenomena orientasi seksual itu memang kompleks atau pelik dan tidak dapat dilihat hanya pada perilaku yang tampak di permukaan (overt behavior).
Seks berkelompok adalah tempat lain untuk percobaan biseksual. Akhirnya, beberapa orang mengambil filosofi biseksual sebagai hasil pertumbuhan sistim kepercayaan pribadi. Misalnya, seorang wanita yang selama ini aktif dalam gerakan wanita menemukan bahwa mereka menjadi dekat dengan wanita lain lewat pengalaman dan menerjemahkan kedekatan ini ke dalam ekspresi seksual. Kemudian contoh yang lain seorang gadis berciuman dengan kawan perempuannya. Kemudian setelah gadis itu berciuman dengan kawan perempuannya, bisa jadi – menurut Weston – ia akan berkata pada dirinya sendiri: "Ok, saya telah mencobanya dan ternyata tidak benar-benar mendapatkan gairah seks atau ketertarikan secara seksual dengannya. Dan saya ragu apakah akan melakukannya lagi.." Bila keadaannya begini, gadis tadi masih dikategorikan sbg heteroseks sepenuhnya, meski pun pernah mencoba cara lain.
5.      Seksbebas (free sex)
Para penganut seks bebas seringkali mengadakan pesta seks yang dihadiri banyak orang dengan berbagai ragam orientasi seksual. Dalam keadaan semacam ini sangat terbuka kemungkinan coba-coba melakukan hubungan biseksual. Bila dalam melakukan hubungan itu mengalami kenikmatan seperti diharapkan, perilaku tersebut cenderung diulang-ulang, sehingga ia dapat berkembang menjadi orang yang memiliki perilaku biseksual.
6.      Kebutuhan emosional yang tak terpenuhi
Hasil penelitian tentang seksualitas ganda menunjukkan bahwa para wanita biseksual mempunyai beberapa kebutuhan emosional yang hanya dapat dipenuhi oleh laki-laki; sementara beberapa kebutuhan emosional lainnya menurut mereka hanya dapat dipenuhi perempuan.Untuk memenuhi seluruh kebutuhan emosional tersebut mereka memiliki peran seksualitas ganda."Saya mencintai pasangan laki-laki saya, tetapi tidak mendapatkan kepuasan emosional yang saya butuhkan darinya.Hubungan saya dengan seorang perempuan dimulai sebagai persahabatan.Dalam dua tahun kami semakin erat, dan sangat intim secara emosional. Kami menjadi tertarik secara fisik satu sama lain. Kemudian pada suatu hari, hal itu terjadi. Kami berciuman dan tidak berhenti sampai disitu…." (Secrets of Better Sex)."Kami berdua merasa malu dan bersalah setelahnya.Beberapa hari kami takut membicarakan hal itu.Itu bukan kebiasaan kami, karena kami selalu membicarakan segala sesuatunya secara langsung. Kami memutuskan tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi, tetapi kami kembali melakukannya. Hal itu telah berjalan bertahun-tahun sampai sekarang.Kami tidak berpikir untuk meninggalkan pasangan laki-laki kami.Ini hanya sesuatu yang kami butuhkan, sesuatu yang tidak kami dapatkan dari laki-laki."Studi yang dilakukan di Australia dan dipublikasikan pada bulan Mei 2002 ini dalam British Journal of Psychiatry menemukan bahwa orang dewasa yang menjalani kehidupan seksual ganda akan mengalami perasaan-perasaan seperti cemas, depresi dan rasa bersalah yang sangat mendalam karena melakukan kehidupan seks tidak normal. Kondisi yang sama juga dialami kaum homoseksual tapi tidak sehebat tekanan mental yang dialami kaum biseksual. Pada situasi yang semakin tidak terkendali para biseksual yang harus menjalani kehidupan seksual ganda -karena mereka juga punya pasangan resmi- akan semakin bingung dan cenderung melakukan usaha bunuh diri atau melukai diri sendiri secara sengaja.
7.      Kebutuhan akan variasi dan kreativitas
Hasil penelitian terhadap pria biseksual menunjukkan bahwa kebanyakan mereka menjadi biseksual karena ingin memenuhi kebutuhan akan adanya variasi dan kreativitas untuk mendapatkan kepuasan dan kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual.

2.4.3        Deskripsi mengenai pengukuran biseksualitas
Pada tahun 1950-an Alfred Kinsey menggambarkan seksualitas manusia sebagai sebuah rangkaian yang merupakan kesatuan, bagaimana sebaiknya melihat seksualitas manusia, dan analisanya tersebut sangat berguna untuk bisa memahami seksualitas.Hal ini yang disebut dengan Skala Kinsey (The Kinsey Scale) yaitu untuk mengukur orientasi seksual.Kinsey membaginya pada skala dari angka 0 hingga 6 dalam sebuah garis horisontal. Skala yang mempunyai 7 poin tersebut memiliki penilaian 0 (heteroseksual murni) sampai 6 (homoseksual murni), sedangkan biseksual berada pada penilaian 1-5. Kemudian para peneliti seks (sexresearchers) mengembangkan skala Kinsey (0-6) untuk menggambarkan orientasi seksual sebagai satu kesatuan/rangkaian (continuum). Skala Kinsey menerangkan bahwa heteroseksual dan homoseksual bukanlah sesuatu yang bertentangan, akan tetapi merupakan dua posisi memungkinkan di dalam rangkaian preferensi / kesukaan seksual.

Heterosexual Murni
Homosexual Murni
0
2
1
5
4
3
6
Bisexuaitas
 




1.      Skala 0 adalah heteroseksual eksklusif (tidak homoseksual), dimana pria hanya memiliki ketertarikan seksual dan melakukannya pada wanita.
2.      Skala 1 adalah kecenderungan heteroseksual (sesekali homoseksual), dimana heteroseksual yang melakukan aktivitas seksual dengan wanita, tapi memiliki terkadang memiliki ketertarikan pada sesama pria
3.      Skala 2 adalah kecenderungan heteroseksual (lebih dari sesekali homoseksual) yaitu pria yang melakukan hubungan seksual dengan wanita, tapi terkadang memiliki ketertarikan dan juga aktivitas pada wanita (lain jenis).
4.      Skala 3 adalah heteroseksual dan homoseksual seimbang yaitu pria yang memiliki ketertarikan dan hubungan aktif dengan wanita, tapi tertarik dan punya hubungan seksual dengn pria.
5.      Skala 4 adalah kecenderungan homoseksual (lebih dari sesekali heteroseksual) adalah seorang pria yang tertarik dan aktif melakukan hubungan dengan pria, tapi juga memiliki ketertarikan dan hubungan secara insidental dengan wanita.
6.      Skala 5 adalah kecenderungan homoseksual (sesekali heteroseksual) yakni pria yang aktivitasnya seksual dengan pria, tapi punya ketertarikan saja pada wanita
7.      Skala 6 adalah homoseksual eksklusif (tidak heteroseksual) adalah adalah pria yang sepenuhnya homoseksual, baik respon psikologis maupun aktivitas seksualnya hanya dengan pria sejenis.

Menurut penelitian, ada variasi pola di mana pria dan wanita berkedudukan dalam skala Kinsey di atas. Pria, baik homoseksual maupun heteroseksual, cenderung berada di ujung skala (lebih eksklusif), sedangkan wanita juga berada di ujung skala, tapi kemungkinan untuk berada di antara kategori 2 sampai 5 lebih besar dari pria.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kinsey pada tahun 1940-an dan 1950-an, sekitar 15% – 25% wanita dan 33% – 46% pria dimungkinkan biseksual, berdasarkan atas aktivitas dan ketertarikan mereka. Sebenarnya biseksual merupakan populasi yang tersembunyi. Dalam budaya kita pada umumnya diasumsikan bahwa seseorang itu adalah heteroseksual atau homoseksual (berdasarkan pada penampilan atau tanda-tanda berperilaku) saja. Biseksual sering disangkal atau tidak diakui karena tidak masuk kedalam kedua standar tetap yang diasumsikan budaya tersebut. Ketika biseksual dikenali biasanya dilihat sebagai bagian dari heterosesksual dan bagian homoseksual daripada sebagai identitas yang unik. Biseksualitas mengancam cara penerimaan dunia dengan mempertanyakan validitas dari kategori-kategori seksual yang kaku tersebut dan mendorong pengakuan dari eksistensi bermacam-macam range dari seksualitas. Untuk meningkatkan pemahaman atau kesadaran biseksual mulai membentuk komunitas-komunitas yang visible. 
Dalam Crooks & Baur (2005), biseksual dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, antara lain: real orientation, transitory orientation, transitional orientation, dan homosexual denial.
1.      Pada real orientation, individu biseksual memiliki ketertarikan pada wanita dan pria sejak awal kehidupannya dan berlanjut hingga usia dewasa. Pada orientasi ini, individu mungkin saja terlibat secara aktif dalam hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan atau mungkin saja tidak dan akan selalu memiliki perasaan ketertarikan terhadap kedua jenis kelamin secara terus menerus.
2.      Pada transitory, biseksual tidak menjadi orientasi seksual dominan dari individu yang bersangkutan. Kondisi biseksual di sini merupakan keadaan temporer dan terjadi umumnya karena pengaruh dari lingkungan, misalnya seorang heteroseksual yang akhirnya memiliki ketertarikan terhadap individu dari jenis kelamin sama karena adanya kebutuhan seksual yang harus dipenuhi tetapi kondisi lingkungan tidak memungkinkan baginya untuk berhubungan dengan lawan jenis sehingga ia memutuskan untuk berhubungan dengan sesama jenis untuk mengurangi dorongan seksualnya, contohnya di penjara atau di boarding school yang diperuntukan bagi satu jenis kelamin saja.
3.      Biseksual berorientasi transitional menunjukan bahwa biseksual merupakan satu fase yang harus dilewati karena adanya perubahan dalam preferensi seksual, misalnya heteroseksual menjadi homoseksual atau vice versa. Perubahan preferensi seksual yang terjadi adalah perubahan yang bersifat permanen, artinya seorang heteroseksual berubah menjadi homoseksual melalui sebuah tahapan biseksual tetapi kondisi homoseksual, atau orientasi seksual yang paling akhir, menjadi bagian dari identitas dirinya untuk jangka waktu yang panjang.
4.      Setelah berada pada orientasi seksual akhir, individu tersebut bukan lagi seorang biseksual ataupun seorang penganut orientasi seksual sebelumnya. Orientasi yang terakhir merupakan penyangkalan atas ketertarikannya terhadap sesama jenis (homosexual denial). Individu-individu biseksual pada kategori ini umumnya berusaha untuk menghindari stigma negatif yang beredar di masyarakat mengenai penganut homoseksual. Bagi individu-individu homoseksual, individu-individu biseksual pada kategori ini mereka lihat sebagai seorang homoseksual yang kurang berusaha untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual."

2.4.4        Teori model – model perilaku biseksualitas
Ada beberapa teori tentang model-model perilaku biseksual. J.R Little mengidentifikasi sedikitnya ada 13 tipe biseksual berdasarkan keinginan seksual dan pengalaman yaitu :
1.         Alternating Bisexsuals
Dapat memiliki hubungan dengan pria dan setelah hubungan tersebut berakhir, dapat memilih partner wanita (subsequentrelationship) dan dimungkinkan dapat kembali memilih partner pria pada relasi yang selanjutnya.
2.         Circumstantial Bisexuals
Heteroseksual secara primer, akan tetapi dapat memilih partner yang berjenis kelamin sama pada situasi dimana tidak terdapat akses kepada partner jenis kelamin yang lain, seperti di dalam penjara, kemiliteran, sekolah yang terpisah khusus berjenis kelamin sama.
3.         Concurrent Relationship Bisexuals
Memiliki relasi utama dengan hanya satu jenis kelamin akan tetapi memiliki relasi kasual atau relasi sekunder dengan orang dengan jenis kelamin lainnya pada satu waktu yang sama.
4.         Conditional Bisexuals
Pada dasarnya adalah seorang heteroseksual atau homoseksual murni (straight), tetapi dapat berganti kepada jenis relasi yang berbeda (jenis kelamin partner berganti) untuk keuntungan secara finansial dan karir ataupun tujuan lain yang khusus misalnya pemuda heteroseksual menjadi seorang prostitute gay, atau seorang lesbian menikah dengan pria untuk mendapatkan pengakuan/penerimaan dari anggota keluarga atau untuk mendapatkan anak.
5.         Emotional Bisexuals
Memiliki hubungan kedekatan emosional dengan pria dan wanita, akan tetapi memiliki relasi atau hubungan seksual hanya dengan satu jenis kelamin.
6.         Integrated Bisexuals
Memiliki lebih dari satu hubungan utama dengan pria maupun wanita pada satu waktu yang sama.
7.         Exploratory Bisexuals
Pada dasarnya adalah seorang heteroseksual atau homoseksual murni tetapi melakukan hubungan seksual dengan lain gender hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu “seperti apakah rasanya”
8.         Hedonistic Bisexuals
Pada dasarnya adalah seorang heteroseksual atau homoseksual murni tetapi kadangkala melakukan hubungan seksual dengan lain gender hanya untuk kesenangan atau murni untuk kepuasan seksual.
9.         Recreational Bisexuals
Pada dasarnya heteroseksual tetapi terlibat hubungan seksual dengan gay atau lesbi hanya ketika berada dibawah pengaruh obat dan atau alcohol.
10.     Isolated Bisexuals
100% homoseksual atau heteroseksual pada saat ini akan tetapi memiliki satu atau lebih pengalaman seksual dengan lain gender di masa lalunya.
11.     Latent Bisexuals
Homoseksual ataupun heteroseksual di dalam perlakuannya tetapi memiliki hasrat yang kuat untuk melakukan seks dengan gender lain akan tetapi tidak pernah melakukannya.

12.     Motivational Bisexuals
Wanita murni yang melakukan hubungan seksual dengan wanita lainnya karena partner prianya mendesaknya untuk melakukan hubungan seksual seperti itu dengan tujuan untuk merangsang atau menggairahkan partner pria.
13.     Traditional Bisexuals
Diidentifikasi secara temporer atau sementara sebagai biseksual ketika di dalam proses untuk menjadi homoseksual atau menjadi heteroseksual.

2.4.5        Ciri – ciri identitas biseksual
Persepsi diri adalah kunci dari identitas biseksual.Heteroseksual, homoseksual dan transeksual lebih bisa diidentifikasi dengan mudah, tidak demikian dengan biseksual.Kelompok biseksual memang tidak menampakkan secara fisik, sehingga tidak gampang dikenali.Karena itu, seseorang yang tampak sebagai pria tulen yang tampak bahagia dan harmonis dengan istri, misalnya ternyata juga berhubungan dengan pria.Bahkan seorang pria yang diketahui playboy dengan banyak pacar wanita, misalnya, ternyata berhubungan seks dengan pria.Kelompok biseksual lebih bisa diidentifikasi pada kaum homoseksual yang menikah, meskipun dalam tataran orientasi seksual, mereka tidak bisa digolongkan sebagai biseksual murni.
Seseorang baru dapat dikatagorikan sebagai biseksual apabila orientasi seksualnya diikuti dengan prilaku dan perbuatan. Artinya, ia melakukan aktivitas seksual dengan lelaki maupun dengan perempuan dalam kehidupan mereka. Inilah yang disebut sebagai prilaku biseksual sesungguhnya. Selama baru tertarik, berfantasi dan memikirkannya, ia belum seorang biseks, mungkin ia seorang hetero atau homo. Memiliki orientasi sebagai biseksual belum tentu mereka melakukan aktifitas sebagai biseksual. Sigmun Freud mengatakan, sifat biseksual bawaan dalam proses pertumbuhannya dapat ditekan (direpresi) sedemikian rupa, sehingga sifat itu tidak muncul dipermukaan.
Beberapa orang yang melakukan aktivitas seksual dengan semua jenis kelamin, tidak diidentifikasikan sebagai biseksual. Ada juga orang yang teribat di dalam aktivitas seksual sama sekali, mengatakan bahwa dirinya adalah biseksual. Beberapa orang percaya bahwa seseorang dilahirkan heteroseksual, homoseksual, atau biseksual (disebabkan karena pengaruh hormonal prenatal) dan karena itulah identitas mereka melekat/sudah menjadi sifatnya dan tidak dapat diubah. Beberapa orang lain meyakini bahwa orientasi seksual disebabkan karena sosialisasi atau hidup bermasyarakat (misalnya meniru ataupun menolak model orangtua) atau kesadaran di dalam memilih (misalnya memilih sebagai seorang lesbian sebagai bagian dari identitas atau cirri-ciri politik feminis). Ada juga yang meyakini bahwa beberapa factor diatas itu saling berkaitan karena setiap orang berbeda secara biologis, social dan budaya. Asumsi lain mengatakan bahwa biseksualitas hanyalah sebuah tahapan atau fase didalam hidup seseorang, karena manusia itu berbeda antara satu dengan yang lain, perasaan seksual dan perilaku seseorang berubah dari waktu ke waktu sehingga pembentukan identitas seksual adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti.
Sejak manusia secara umum dikenali sebagai heteroseksual, biseksual adalah  merupakan tahapan dalam penglaman seseorang sebagai bagian dari proses pengakuan terhadap homoseksualitasnya. Banyak orang lain yang mengidentifikasikan dirinya sebagai biseksual setelah periode mempertimbangkan dalam mengenali diri sebagai homoseksual. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ron Fox pada 900 individu biseksual menemukan bahwa 1/3 dari mereka adalah homoseksual di masa lampau. Biseksualitas (seperti halnya heteroseksual dan homoseksual) dimungkinkan merupakan tahapan transisi dalam proses penemuan seksual atau sesuatu yang tetap, idenitas yang long term. Pada umumnya terdapat sedikitnya empat tahapan untuk pemahaman penuh dan rasa menjadi nyaman dengan identitas sebagai biseksual.
1.    Kebingungan terhadap orientasi seksual
Banyak orang biseksual memulai dengan perasaan kebingungan yang tentang ketertarikannya pada kedua jenis kelamin.Mempertanyakan realita yang mereka miliki, dan bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang salah dariku?Beberapa orang menghabiskan seluruh hidupnya pada tahapan ini, menyembunyikan orientasi seksual mereka, merasa terisolasi dan sendiri dengan kekacauan di dalam dirinya atas dua hal atraksinya.Banyak orang biseksual melanjutkan hidupnya dengan mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual atau bahkan homoseksual untuk diterima oleh masyarakat dan membuat pengertian dirinya sendiri atas orientasi seksualnya.
2.    Penemuan the bisexual label dan memilih identitas sebagai biseksual
Hampir semua biseksual mengakui bahwa menemukan label biseksual adalah sangat penting di dalam pemahaman dan penerimaan seksual orientasi mereka. Pada umumnya pengalaman ekstrim yang mereka miliki digambarkan ketika mereka mendengar kata biseksual pada saat pertama kali karena pada akhirny mereka enemukan sebuah kata yang mencerminkan pengalaman dan perasaan mereka. Tetapi pada beberapa kondisi sterotip negatipdari biseksual sebagai promiscuous atau sebagai pembawa penyakit AIDS mencegah mereka dari identifikasi dengan label atau mengklaim hal tersebut untuk mereka sendiri. Kemudian beberapa orang biseksual menemukan definisi mereka sendiri dan membentuk gaya hidup biseksual yang cocok dengan kehidupan individual mereka.
3.    Penetapan dan pemeliharaan identitas biseksual
Bagi beberapa orang biseksual, tahapan ini adalah yang paling sulit. Secara intelektual mereka merasa nyaman dengan menjadi biseksual , akan tetapi secara emosional mereka mengalami konflik ekstrim ketika hidup di dunia nyata sebagai biseksual. Tidak jarang dicemooh oleh keluarga dan keluarga ditolak oleh pasangannya, membuat mereka berpikir bahwa membangun dan memelihara sebuah identitas biseksual memerlukan kekuatan dari dalam diri, kepercayaan diri, dan kemandirian.Biasanya mereka mengatasinya dengan membentuk komunitas mereka sendiri, menemukan teman-teman yang mau menerima dan mencintai mereka dan membentuk dinding untuk menghindari konsekuensi.
4.    Transformasi penderitaan
Pada umumnya orang-orang biseksual dating dan pergi (didalam benteng/dinding yang mereka bentuk sendiri) adalah merupakan proses yang terus berjalan yang selalu harus diulangi di dalam situasi social yang baru, tempat kerja, teman da pasangan. Banyak orang melihat proses ini sebagai bentuk paling penting di dalam aksi politik, membentuk peranan model yang nampak dan menyatukan komunitas biseksual. Oleh karena para biseksual mengalami kesulitan dan penderitaan di dalam tiga tahapan diatas sendiri dan didalam kesunyian atau kerahasiaan mereka menginginkan untuk membuat hal-hal tersebut menjadi lebih mudah bagi para biseksual yang lain untuk mengenali dan mendapatkan orientasi seksual mereka tanpa butuh waktu bertahun-tahun di dalam kesendirian dan kekacauan di dalam diri. Mereka mulai melibatkan diri di dalam organisasi politik biseksual sebagai cara untuk meningkatkan penampakan diri dari biseksual dan mempromosikan bisekual sebagai identitas yang aktif.
  
Seorang biseks temporer pada dasarnya bisa berhenti atau diberhentikan, kalau dikehendaki.Apalagi, para biseks temporertersebut, pada umumnya, punya kesadaran dan perasaan bersalah, ketika menganggap prilaku tersebut sebagai hal yang menyimpang.



BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kognitif dan biologis.Artinya, bagaimana seseorang dibesarkan (termasuk pengalaman-pengalaman seseorang yang bersifat seksual), pola pikir orang tersebut dan struktur genetis dan hormonal yang didapat sejak seseorang berada di dalam kandungan mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Orientasi seksual seseorang pada umumnya akan mulai muncul  pada awal-awal  masa remaja.
Dalam seksiologi di kenal dengan nama heteroseksualitas dan homoseksualitas Heteroseksual yaitu manusia yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Artinya, pria tertarik secara seksual pada wanita, demikian juga sebaliknya, jadi heteroseksual adalah salah satu jenis dari orientasi seksual yaitu aktivitas seksual di mana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis.Mereka inilah yang disebut pria atau wanita tulen.Pria atau wanita yang dianggap normal yang merupakan golongan mayoritas.
Penolakan terhadap kehadiran kaum homoseksual justru lebih banyak datang dari keluarga yang pada akhirnya tidak jarang akan menimbulkan konflik dalam keluarga. Misalnya, pemaksaan pada si gay oleh keluarga untuk menikahi perempuan. Bila menolak untuk menikah, mereka akan diusir dari keluarga

3.2    Saran
1)   Bagi keluarga hendaknya jangan melakukan penolakan terhadap kaum homoseksual.
2)   Bagi kaum homoseksual  dalam melakukan hubungan seksual, agar  melakukannya dengan cara yang aman agar terhindar dari HIV/AIDS.









DAFTAR PUSTAKA

Alimi, M.Y., (2004), Dekonstruksi Sensualitas PosKolonial dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama, Penerbit LKIS, Yogyakarta.
Feray, Jean-Claude, Herzer, Manfred.,  (1990), Homosexual Studies and Politics in the 19th Century: Karl Maria Kertbeny, Journal of Homosexuality dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas.
Handoyo, H, (2007), Gay Pride: Homoseksual Dipicu Lingkungan dan Gaya Hidup, http://netsains.com/2007/07/gay-pride-homoseksual-dipicu-lingkungan-dan-gaya-hidup/
Kadir, A.H., (2007), Tangan Kuasa Dalam Kelamin ; Telaah Homoseks, Pekerja Seks dan Seks Bebas di Indonesia, INSISTPress, Yogyakarta.
Puspitosari, H., Pujileksono, S., (2005), WARIA dan Tekanan Sosial, Penerbit Universitas Muhammadiyah, Malang.
Rianti, D., (2007), Homoseksual Tinjauan Dari Perspektif Ilmiah, http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/homoseksual_tinjauan_dari_perspektif_ilmiah/
Sigit, S., (2007), Homologi, Penerbit GAYa NUSANTARA; Surabaya.
Oetomo, D. (2001), Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press; Yogyakarta.



1 komentar:

  1. saya boleh bertanya mas, faktor - faktor biseksual itu sumbernya dari mana ya ? saya lagi butuh untuk skripsi saya

    BalasHapus