BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Setiap gerak manusia adalah sebuah afeksi yang
merupakan perpaduan antara emosi dan ratio yang membutuhkan daya dukung yang
mampu mendinamisasi kehidupan dan kreativitas. Salah satu bagian dari daya
dukung tersebut adalah kebutuhan
biologis, mulai dari makan, minum dan seks tentunya. Dari semua
perdebatan yang terjadi terhadap segala kebutuhan manusia, tampaknya seks
menempati posisi yang paling kontroversial sepanjang peradapan manusia.Secara
esensi seks merupakan bagian utama dari hasrat pemenuhan kebutuhan badaniah.Ia
adalah bagian dari konsumsi yang diperlukan oleh tubuh. Sejak jaman prasejarah,
seksualitas dianggap sebagai bagian dari keharusan alam yang bersifat
instingtif demi melanjutkan proses survivalisasi. Sejak lahir kebutuhan
biologis manusia terungkap melalui berbagai insting seperti rasa lapar yang
diikuti dengan hasrat mencari makanan, posisi tersebut juga terjadi pada
kebutuhan biologis lainnya seperti seks yang diikuti berbagai cara untuk
memenuhinya.
Seksualitas merupakan
bagian integral dari kehidupan manusia sebagai bagian personalitas total
manusia, dan berkembang terus dari mulai lahir sampai masa tua, berubah sesuai
dengan usia, sesuai dengan peran yang ada di masyarakat yang berpatokan dengan
identitas peran atau gender serta interaksi dengan orang lain dan lingkungan
budayanya. Seksualitas merupakan konstruksi social yang terbentuk melalui
sejarah, konteks dan kebudayaan.
Seksualitas harus di pandang secara keseluruhan dalan konteks kehidupan manusia
dan dalam berbagai dimensi karena pandangan tentang seksualitas mencakup siapa
kita dan apa yang kita kerjakan. Kondisi seksualitas juga menunjukkan gambaran
kualitas kehidupan manusia, terkait dengan perasaan paling dalam, akrab dan
intim yang berasal dari lubuk hati, dapat berupa pengalaman, penerimaan dan
ekspresi diri manusia sebagai mahluk seksual.
Seksualitas
memiliki beberapa komponen, salah satunya adalah orientasi seksual. Orientasi
seksual adalah ketertarikan yang bersifat abadi (enduring) secara emosional,
romantis, dan afeksional kepada manusia lain. Orientasi seksual berbeda dengan
perilaku seksual, karena orientasi seksual adalah perasaan dan konsep diri,
bukan perbuatan. Seseorang mungkin saja tidak melakukan kegiatan seksual yang
sesuai dengan orientasi seksualnya (atau sama sekali tidak melakukan hubungan
seks). Orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kognitif
dan biologis.Artinya, bagaimana seseorang dibesarkan (termasuk
pengalaman-pengalaman seseorang yang bersifat seksual), pola pikir orang
tersebut dan struktur genetis dan hormonal yang didapat sejak seseorang berada
di dalam kandungan mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Orientasi seksual
seseorang pada umumnya akan mulai muncul
pada awal-awal masa remaja.
Ekspresi
adalah wujud dari emosi yang nampak, sesuatu yang ada dalam diri manusia yang
tersirat, atau cara manusia untuk menyampaikan pesan yang berasal dari dalam
diri manusia, bisa berupa kata-kata, tindakan atau tingkah laku. Ekspresi
natural adalah wujud dari emosi alamiah, natural yang merupakan bagian integral
dari kebebasan manusia.
Dalam
seksiologi di kenal dengan nama heteroseksualitas dan homoseksualitas
Heteroseksual yaitu manusia yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis.
Artinya, pria tertarik secara seksual pada wanita, demikian juga sebaliknya,
jadi heteroseksual adalah salah satu jenis dari orientasi seksual yaitu
aktivitas seksual di mana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan
jenis.Mereka inilah yang disebut pria atau wanita tulen.Pria atau wanita yang
dianggap normal yang merupakan golongan mayoritas.
Sampai saat ini heteroseksual dianggap sebagai satu-satunya bentuk
natural dari ekspresi seksualitas,sedangkan
homoseksualitas Menurut Katchadourian (1989) secara sederhana homoseksual
didefinisikan sebagai atraksi atau aktivitas seksual antara sesama jenis.
Prefiks “homo” dalam homoseksual berasal dari bahasa Yunani yang artinya “sama”
bukan merujuk pada bahasa Latin homo
yang berarti “laki-laki”. Dengan demikian homoseksual diartikan sebagai
hubungan seksual dengan sesame jenis, bukan hubungan seksual dengan laki-laki.Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial
seringkali memandang hal-hal yang diluar kewajaran sebagai sesuatu yang
menyimpang dan melanggar norma. Norma sendiri dibuat dan dipedomani anggota
masyarakat melalui proses kesepakatan social dan norma-norma yang ada merujuk
pada tuntutan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat.
Penolakan
terhadap kehadiran kaum homoseksual justru lebih banyak datang dari keluarga
yang pada akhirnya tidak jarang akan menimbulkan konflik dalam keluarga. Misalnya, pemaksaan pada si gay oleh keluarga untuk
menikahi perempuan. Bila menolak untuk menikah, mereka akan diusir dari
keluarga. Sementara itu, dalam kenyataannya mereka yang sudah menikah tetap
sulit untuk menghentikan aktivitas homoseksualnya sehingga tidak jarang kaum
gay setelah menikah tetap berperilaku homoseksual secara insidentil atau
sembunyi-sembunyi. Dengan kata lain, mereka kemudian
berperilaku biseksual.
BAB
2
TINJAUAN
TEORI
2.1 Orientasi Seksual
Orientasi
seksual adalah pilihan sosioerotis seseorang untuk menentukan jenis kelamin
partner seksualnya apakah dari jenis kelamin yang berbeda atau jenis kelamin
yang sama (Galliano, 2003; Lips, 2005). Perlu ditambahkan bahwa pilihan ini
tidak hanya berbicara soal hubungan seks, namun juga menyangkut misalnya emosi,
perasaan, dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup, serta aspek seksualitas
yang lebih luas. Tiga komponen seksualitas adalah jenis kelamin biologis,
identitas gender (arti psikologis pria dan wanita) dan peranan jenis kelamin
(norma-norma budaya untuk perilaku feminin dan maskulin). Orientasi seksual
berbeda dengan perilaku seksual karena berkaitan dengan perasaan dan konsep
diri.Namun dapat pula seseorang menunjukkan orientasi seksualnya dalam perilaku
mereka.Orientasi seksual secara garis besar dapat dibedakan menjadi:
1)
Heteroseksual, yaitu
orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelamin yang berlawanan.
2)
Homoseksual, yaitu
orang dengan pilihan partner seksual dari jenis kelaminnya sendiri (Masters,
1992)
3)
Biseksual, yaitu orang
yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan
(Masters, 1992)
2.2 Heteroseksual
2.2.1
Definisi heteroseksual
Banyak
pengertian dari heteroseksual dari berbagai macam literatur, namun semuanya
memiliki makna yang sama. Beberapa pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Aktifitas seksual
dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis
2.
Seseorang yang tertarik
dengan lawan jenisnya/ opposite sex (Kamus Oxford)
3.
Orang yang mempunyai
hubungan seksual utama atau eksklusif (primarily and exclusively) dengan jenis
kelamin lainnya (Sexual Interaction, Albert R Allgeiger).
4.
Orientasi seksual yang
menggambarkan pilihan seseorang untuk anggota-anggota jenis kelamin lainnya,
bukan anggota- anggota dari jenis kelamin mereka sendiri, ketika membangun
hubungan- hubungan seksual dan/ atau romantic.
2.2.2
Heteroseksual sebagai
bentuk natural dari ekspresi seksual
Beberapa
peneliti menunjukkan bahwa dorongan untuk menjadi heteroseksual atau yang lain
tersusun dan dikuatkan pada masa anak-anak, remaja dan dewasa melalui bahasa,
ritual dan interaksi.
Beberapa
persoalan tentang “mengapa heteroseksualitas dipertimbangkan sebagai
satu-satunya bentuk ekspresi seksual alami?”.Dapat dijawab bahwa pertama kali
Tuhan menciptakan manusia, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan yaitu Adam
dan Hawa.Sebagai pencipta, Tuhan tahu tentang umat manusia ciptaan-Nya. Tuhan
tahu jika akan menguntungkan (fulfill) bagi manusia, akan di beri label ‘benar’
dan jika akan merugikan bagi manusia akan di beri label ‘salah’. Inilah alasan
utama mengapa Tuhan merekomendasikan untuk memilih heteroseksual, sebab Tuhan
tahu bahwa ini akan memberi banyak keuntungan/kebahagiaan bagi manusia. Dengan
kata lain, Tuhan menciptakan manusia untuk mengerjakan yang baik sesuai dengan
perintah-Nya.
Alasan
lain mempertahankan posisi ini adalah bahwa dalam pernikahan dengan pasangan
lain jenis (atau dalam suatu hubungan), prinsip yang sama ini telah terbukti
melengkapi pemenuhan.
Sebuah
aspek praktis heteroseksualitas yang monogami adalah sesuatu yang sesuai dalam
masyarakat. Yang lain adalah faktor potensi tambahan terhadap pemberian-
pemberian kepada keluarga yang merupakan unit dasar dan pokok dari masyarakat.
Selama
ini kebanyakan orang berpikir dan percaya penuh bahwa semua manusia dilahirkan
untuk menjadi insan yang heteroseksual. Coba cermati, pertanyaan apa yang
selalu muncul saat seseorang mendengar kelahiran seorang bayi. Tentu,
pertama-tama, yang ingin diketahui adalah jenis kelamin bayi itu.Perempuan atau
laki-laki.Pertanyaan ini menjadi begitu penting maknanya karena memang bukan
hanya sekedar pertanyaan biasa. Melainkan pernyataan secara tidak seperti
misalnya bayi yang dilahirkan perempuan maka akan ada sederet harapan yang
dipertaruhkan atas jenis kelaminnya. Begitu pula kalau bayi tersebut berjenis
kelamin laki-laki. Salah satu persoalan yang kelak akan menjadi masalah besar
adalah segala sesuatu yang menyangkut
perilaku seksnya. Seorang bayi perempuan atau laki-laki bukan sekedar
diandaikan akan
berpasangan dengan lawan jenisnya.
Tapi
hal itu merupakan kewajibannya, karena dalam keyakinan kita memang harus
begitu.Itu merupakan sesuatu yang ‘kodrati’ sifatnya, sesuatu yang ‘alamiah’,
sesuatu yang ‘udah dari sononya begitu’.Andai terjadi hal-hal berbeda dari yang
dianggap kodrati, maka orang yang bersangkutan dituduh bukan manusia lagi,
karena dia muncul sebagai sosok diri yang dianggap ‘tidak kodrati’.Keharusan
untuk menjadi heteroseksual, atau heteroseksualitas yang dipaksakan adalah
salah satu bentuk kekerasan terhadap manusia.itu toh muncul dari nilai-nilai
heteroseksual.
Contoh
lain adalah saat dewasa perempuan akan tertarik pada laki-laki dan begitu pula
sebaliknya, kemudian mereka akan berpacaran dan selanjutnya menikah. Aturan
yang mewajibkan perempuan kawin dengan laki-laki.
Contoh
pada kaum perempuan, pada saat kanak-kanak sampai manula, perempuan juga
diwajibkan bertingkah-laku dan memakai semua tanda-tanda perempuan, seperti
kawin dan mempunyai anak, bersekolah dalam bidang-bidang ‘keperempuanan’,
dsb.Kalau hal ini tidak terjadi begitu, maka orang mulai bertanya-tanya, “Ada
apa dengan dia?”Bahkan ada pandangan sinis sebagian msyarakat mengenai
perempuan tersebut. Paksaan menjadi heteroseksualitas seperti tidak akan pernah
lelah mengikuti hidupnya. Perempuan terus dibekuk dalam keharusan-keharusan
yang sangat mengikat itu.Kemudian, di antara mereka yang mengalami hadirnya
sebuah perwujudan seksual yang berbeda dalam dirinya juga dibuat tidak
sadar.Mereka pun dibuat ketakutan terhadap kemungkinan-kemungkinan hidup yang
harus mereka hadapi dengan perberbedaan itu.
Begitu
juga pada laki-laki, sejak lahir dia dianggap “lebih” dibandingkan
perempuan.Bahkan saat hamil, apabila gerakan bayi lebih keras diduga anak yang
dikandung adalah laki-laki.Kemudian begitu lahir dan semakin besar, anak
laki-laki diharuskan menyenangi hal-hal bersifat maskulin seperti menyukai
mainan mobil-mobilan, menyukai bidang teknik, bertingkah laku maskulin, dan setelah
dewasa menyukai lawan jenis atau perempuan. Apabila dalam usia yang cukup dia
belum punya pacar bahkan dalam usia yang lebih dia tidak beristri, orang akan
bertanya-tanya ada yang salah pada diri orang tersebut.
Akhirnya
Heteroseksual dianggap sebagai satu-satunya bentuk natural dari ekspresi
seksual dari manusia.Kita akhirnya terpaksa mengakui mitos tentang
heteroseksualitas sebagai satu-satunya seks yang ‘normal’.Kita bahkan berada
jauh di luar pemikiran bahwa semua nilai-nilai dan moralitas yang sifatnya
mutlak, dominan, dan berlaku dimana-mana sebenarnya adalah hasil pemikiran
manusia sendiri yang semata-mata tujuannya hanya untuk mempertahankan
kepentingan-kepentingan tertentu.Berdasarkan
hal itu, semua yang tidak cocok dengan pemikiran-pemikiran itu dianggap tidak
memiliki nilai dan tidak bermakna.Maka konsekuensinya kita memiliki perwujudan
seksual yang berbeda dianggap tidak seharusnya ada atau setidak-tidaknya tidak
diakui keberadaannya.
2.2.3
Pemahaman Adat Budaya
(Culture) Dalam Menerima Heteroseksual
Selama
ini heteroseksual di kebanyakan kultur – kultur di dunia dianggap sebagai sebuah
norma. Anak-anak sering di asumsikan nantinya mereka merupakan heteroseksual
pada saat dewasa. Di beberapa tempat, para kenalan dan teman diasumsikan
sebagai heteroseksual kecuali jika mereka menampakkan orientasinya (BBC,
2003)Tak dapat dipungkiri, hal hal tentang heteroseksual banyak dibicarakan di
media massa seperti televisi, radio,
film, buku dan surat kabar. Selama ini, heteroseksual khususnya secara monogami
adalah hal yang romantisme di banyak masyarakat.Perayaan- perayaan yang terjadi
di dalam keluarga seperti pertunangan, perkawinan, perayaan pernikahan,
kehamilan, dan kelahiran secara khas mendapat perhatian masyarakat (sosial)
positif (BBC, 2003).Dengan
adanya pengaruh sosial seperti itu maka heteroseksual dirasakan oleh masyarakat
adalah orientasi seksual yang benar dan mereka optimis dengan adanya hubungan
secara heteroseksual yang membawa mereka pada hubungan jangka panjang (BBC,
2003)
2.2.4
Keuntungan- Keuntungan
Secara Sosial
Orang-
orang heteroseksual mempunyai akses yang luas dalam mendapatkan perhatian
secara sosial dan hukum, yang jarang didapatkan oleh kaum homoseksual dan
biseksual, tergantung dari peraturan (hukum) yang berlaku di daerah masing-
masing. Akses- akses tersebut antara lain (BBC, 2003):
1.
Kemampuan dalam
mendapatkan pendidikan di kelas (sekolah) tanpa menerima gangguan secara fisik
dan diskriminasi di dalam kelas hanya karena perbedaan orientasi seksualnya.
2.
Kemampuan melakukan
hubungan seksual dengan pasangannya dengan keleluasaan pribadi di dalam atau
luar batas perkawinan tanpa adanya penangkapan untuk itu, menjalani hukuman
dalam penjara dan membayar denda
3.
Kesempatan untuk
mencari dan mempertahankan pekerjaan, pembelian barang dan jasa dan bergabung
dalam kelompok atau organisasi tanpa adanya penolakan hanya berdasarkan
perbedaan orientasi seksualnya.Kemampuan pegawai dalam mendapatkan asuransi
kesehatan untuk pasangan dan anak-anaknya
4.
Berhak menikah dengan
cara yang legal dengan penerimaan dari masyarakat sekitar terhadap pernikahan
dan kelanggengan dalam pernikahan tersebut
5.
Kemampuan dalam
mendapatkan kewarganegaraan di negara lain pada saat menikah dengan seseorang
yang dicintainya di negara tersebut
6.
Penerimaan terhadap bayi
yang di lahirkan dari pasangan tersebut, juga kemampuan untuk mengadopsi anak
dari luar atau mengadopsi anak yang di miliki dari pasangan sebelumnya
7.
Hak yang tidak
dipermasalahkan untuk mendapatkan kepemilikan harta ketika salah seorang dari
pasangan meninggal dunia
8.
Hak untuk di dengarkan
dalam pengadilan selama masa perceraian dan/atau perselisihan pengasuhan anak
9.
Hak untuk menyusun dan
mengurus penguburan terhadap seseorang yang dicintainya ketika dia meninggal.
10.
Kemampuan setelah
pasangan meninggal untuk memerima uang pensiunnya atau keuntungan lain yang
diterima sebagai janda/duda yang ditinggalkannya.
2.2.5
Heteroseksual Dianggap
Suatu Ekspresi yang Natural / Alami
Beberapa
persoalan tentang “mengapa heteroseksualitas dipertimbangkan sebagai
satu-satunya bentuk ekspresi seksual alami?”.Dapat dijawab bahwa pertama kali
Tuhan menciptakan manusia, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan yaitu Adam
dan Hawa.Sebagai pencipta, Tuhan tahu tentang umat manusia ciptaan-Nya. Tuhan
tahu jika akan menguntungkan (fulfill) bagi manusia, akan di beri label ‘benar’
dan jika akan merugikan bagi manusia akan di beri label ‘salah’. Inilah alasan
utama mengapa Tuhan merekomendasikan untuk memilih heteroseksual, sebab Tuhan
tahu bahwa ini akan memberi banyak keuntungan/kebahagiaan bagi manusia. Dengan
kata lain, Tuhan menciptakan manusia untuk mengerjakan yang baik sesuai dengan
perintah-Nya.Alasan lain mempertahankan posisi ini adalah bahwa dalam
pernikahan dengan pasangan lain jenis (atau dalam suatu hubungan), prinsip yang
sama ini telah terbukti melengkapi pemenuhan.Sebuah aspek praktis
heteroseksualitas yang monogami adalah sesuatu yang sesuai dalam
masyarakat.Yang lain adalah faktor potensi tambahan terhadap pemberian-
pemberian kepada keluarga yang merupakan unit dasar dan pokok dari masyarakat.
Selama ini kebanyakan orang berpikir dan percaya penuh
bahwa semua manusia dilahirkan untuk menjadi insan yang heteroseksual. Coba
cermati, pertanyaan apa yang selalu muncul saat seseorang mendengar kelahiran
seorang bayi. Tentu, pertama-tama, yang ingin diketahui adalah jenis kelamin
bayi itu.Perempuan atau laki-laki.Pertanyaan ini menjadi begitu penting
maknanya karena memang bukan hanya sekedar pertanyaan biasa. Melainkan
pernyataan secara tidak seperti misalnya bayi yang dilahirkan perempuan maka
akan ada sederet harapan yang dipertaruhkan atas jenis kelaminnya. Begitu pula
kalau bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki. Salah satu persoalan yang kelak
akan menjadi masalah besar adalah segala sesuatu yang menyangkut perilaku seksnya. Seorang bayi perempuan atau
laki-laki bukan sekedar diandaikan akan berpasangan dengan lawan jenisnya.
Tapi hal itu merupakan kewajibannya, karena dalam
keyakinan kita memang harus begitu.Itu merupakan sesuatu yang ‘kodrati’
sifatnya, sesuatu yang ‘alamiah’, sesuatu yang ‘udah dari sononya begitu’.Andai
terjadi hal-hal berbeda dari yang dianggap kodrati, maka orang yang
bersangkutan dituduh bukan manusia lagi, karena dia muncul sebagai sosok diri
yang dianggap ‘tidak kodrati’.Keharusan untuk menjadi heteroseksual, atau
heteroseksualitas yang dipaksakan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap
manusia.itu toh muncul dari nilai-nilai heteroseksual.
Contoh lain adalah saat dewasa perempuan akan tertarik
pada laki-laki dan begitu pula sebaliknya, kemudian mereka akan berpacaran dan
selanjutnya menikah. Aturan yang mewajibkan perempuan kawin dengan laki-laki.
Akhirnya Heteroseksual dianggap sebagai satu-satunya
bentuk natural dari ekspresi seksual dari manusia.Kita akhirnya terpaksa
mengakui mitos tentang heteroseksualitas sebagai satu-satunya seks yang
‘normal’.Kita bahkan berada jauh di luar pemikiran bahwa semua nilai-nilai dan
moralitas yang sifatnya mutlak, dominan, dan berlaku dimana-mana sebenarnya
adalah hasil pemikiran manusia sendiri yang semata-mata tujuannya hanya untuk
mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu.Berdasarkan hal itu, semua yang
tidak cocok dengan pemikiran-pemikiran itu dianggap tidak memiliki nilai dan
tidak bermakna.Maka konsekuensinya kita memiliki perwujudan seksual yang
berbeda dianggap tidak seharusnya ada atau setidak-tidaknya tidak diakui
keberadaannya.
2.2.6
Penyesuaian peran seks
dewasa ini
Penyesuaian peran seks pada masa dewasa dini sejauh
ini masih sulit.Sebelum masa remaja berakhir, sebenarnya anak laki-laki dan
perempuan telah menyadari pembagian peran yang disepakati oleh masyarakat,
tetapi belum tentu mereka mau menerima sepenuhnya. Banyak gadis remaja ingin
berperan sebagai ibu dan isteri yang baik saat dewasa nanti, akan tetapi
setelah dewasa mereka tidak mau menjadi isteri yang tunduk pada suami,
mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan hanya memiliki sedikit minat dan
kegiatan luar (sesuai pengertian tradisional). Alasan mereka dijelaskan oleh
Arnoto dan Bengston.
Peran “pengatur rumah tangga” (“homemaker”) kurang
dihargai di Amerika Serikat dimana pekerjaan menjadi kunci untuk menentukan
status suatu peran, dan prestasi dan kekayaan cenderung dijadikan patokan untuk
menentukan peringkat sosial.Dalam masyarakat Amerika masa kini wanita cenderung
menyerap nilai-nilai yang dianut para pria yang duduk bersama-sama mereka di
bangku sekolah.Mereka menjadikan pria-pria ini acuan dalam membandingkan
penghargaan dan imbalan untuk peran-peran tertentu.Wanita berpendidikan yang
berperan sebagai ‘pengelola rumah tangga saja’ merasa dipojokkan dalam
distribusi status sosial.Peran sebagai ‘pengelola rumah tangga-plus’ (seperti
bekerja di luar rumah disamping mengerjakan tugas-tugas rumah tangga) mungkin
akan membawa penghargaan sosial yang lebih besar.
Banyak wanita muda saat ini, mengharapkan perkawinan
atas dasar persamaan hak.Dalam hal ini terjadi pergeseran dalam pola kehidupan
orang dewasa.Lambat laun konsep tradisional, yang merupakan konsep peran seks
dewasa, termodifikasi atau bahkan tergantikan konsepnya dengan konsep baru,
yaitu konsep peran seks egalitarian.Konsep ini
lebih menekankan persamaan antara pria dan wanita.
Seksualitas Tradisional dan Moderen Dalam Konsep
Peran Seks Dewasa :
1.
Konsep
Tradisional
-
Tidak memperhitungkan
minat dan kemampuan individual.
-
Peran peran ini
menekankan superioritas maskulin dan tidak tolerir pada setiap pekerjaan yang
memberi kesan kewanitaan.
Pria
Di rumah: pencari nafkah,pembuat keputusan, penasehat dan tokoh yang mendisiplin anak-anak,serta menjadi model maskulinitas bagi putera-puteranya.
Di rumah: pencari nafkah,pembuat keputusan, penasehat dan tokoh yang mendisiplin anak-anak,serta menjadi model maskulinitas bagi putera-puteranya.
Di luar rumah:
pria menduduki posisi yang berwenang dan berprestise dalam dunia bisnis.
Wanita
Peran wanita disini berorientasi pada pengabdian terhadap orang lain. Wanita tidak diharapkan bekerja di luar rumah, jikalau pun wanita harus bekerja, biasanya dalam bidang pelayanan seperti perawat, dan guru.
Peran wanita disini berorientasi pada pengabdian terhadap orang lain. Wanita tidak diharapkan bekerja di luar rumah, jikalau pun wanita harus bekerja, biasanya dalam bidang pelayanan seperti perawat, dan guru.
2.
Konsep
Egalitarian
Konsep egalitarian atau persamaan
derajat menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita.
Pria
Baik dirumah maupun di luar rumah,
pria dapat bekerja sama dengan isterinya. Dan ia pun tak merasa malu jika
isterinya mempunyai pekerjaan yang lebih besar penghasilannya dan berprestise
darinya.
Wanita
Di rumah maupun di luar rumah, wanita mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi serta pendidikannya. Banyak wanita muda menyadari bahwa prestise (prestige : pengaruh,reputasi) yang rendah adalah dikaitkan dengan peran tradisional seorang isteri dan ibu, maka motivasi mereka untuk belajar peran ini rendah. Apabila mereka menjadi isteri dan ibu, mereka mengerti bahwa kecil kemungkinannya untuk membebaskan diri dari peran sebagai ibu untuk memainkan peran lain yang secara pribadi lebih memuaskan dan bermanfaat.
Di rumah maupun di luar rumah, wanita mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi serta pendidikannya. Banyak wanita muda menyadari bahwa prestise (prestige : pengaruh,reputasi) yang rendah adalah dikaitkan dengan peran tradisional seorang isteri dan ibu, maka motivasi mereka untuk belajar peran ini rendah. Apabila mereka menjadi isteri dan ibu, mereka mengerti bahwa kecil kemungkinannya untuk membebaskan diri dari peran sebagai ibu untuk memainkan peran lain yang secara pribadi lebih memuaskan dan bermanfaat.
Pada kenyataannya, konsep
tradisional yang telah ada telah dimodifikasi atau bahkan diganti dengan konsep
egalitarian (persamaan derajat) antara wanita dan pria.
Berikut ini merupakan perbedaan antara
konsep peran seks yang tradisional dan egalitarian.
|
Konsep Tradisional
|
Konsep Egalitarian
|
Konsep
|
Tidak
memperhitungkan minat dan kemampuan individual. Peran-peran ini menekankan
superioritas maskulin dan tidak tolerir pada setiap pekerjaan yang memberi
kesan kewanitaan.
|
Konsep
egalitarian atau persamaan derajat menekankan individualitas dan persamaan
derajat antara pria dan wanita
|
Pria
|
Di
rumah: pencari nafkah, pembuat keputusan, penasehat dan tokoh yang
mendisiplin anak-anak, serta menjadi model maskulinitas bagi
putera-puteranya.
Di
luar rumah: pria menduduki posisi yang berwenang dan berprestise dalam dunia
bisnis
|
Baik
dirumah maupun di luar rumah, pria dapat bekerja sama dengan isterinya.
Dan
ia pun tak merasa malu jika isterinya mempunyai pekerjaan yang lebih besar
penghasilannya dan berprestise darinya.
|
Wanita
|
Peran
wanita disini berorientasi pada pengabdian terhadap orang lain. Wanita tidak
diharapkan bekerja di luar rumah, jikalau pun wanita harus bekerja, biasanya
dalam bidang pelayanan seperti perawat, dan guru
|
Di
rumah maupun di luar rumah, wanita mempunyai kesempatan untuk
mengaktualisasikan potensi serta pendidikannya.
|
2.2.7
Beberapa Variasi Dari
Heteroseksual
Variasi
dari heteroseksual yang dilakukan oleh masyarakat heteroseksual, yaitu:
1.
Pasangan suami istri (marriage)
2.
Pasangan sex sebelum
nikah (pre marital sex)
3.
Pasangan sex di luar
nikah (extramarital sex )
4.
Pasangan kumpul kebo (cohabitation)
Hubungan
heteroseksual secara umum terlihat lebih menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan
(menurut psikiater Alexander Lowen, 1975). Seseorang untuk menjadi atau
berorientasi heteroseksual atau non heteroseksual di pengaruhi oleh (White
Remarks, 1977):
a.
Perbedaan hormon secara
fisik
b.
Gen ( Genetic )
c.
Kromosom ( Chromosome )
Menjadi
heteroseksual atau homoseksual tidak hanya berasal dari gen, kromosom dan lain
sebagainya, tetapi juga dipengaruhi oleh khayalan dan keinginan secara regular
(teratur) melalui kecocokan yang dibangun, diperkuat dan dianggap normal
melalui pernyataan yang konstan (Butler, 1993). Beberapa peneliti menunjukkan
bahwa dorongan untuk menjadi heteroseksual atau yang lain tersusun dan
dikuatkan pada masa anak-anak, remaja dan dewasa melalui bahasa, ritual dan
interaksi.Beberapa kaum feminis mengkritik dan menolak segala bentuk
heteroseksual sebab hal ini akan menyebabkan seorang laki- laki akan lebih
dominan atau dengan kata lain akan mengekalkan dominasi pria dan heteroseksual
merupakan mekanisme kunci untuk mengontrol perempuan (Andrienne Rich, 1984).
2.3 Homoseskual
Menurut Katchadourian (1989) secara
sederhana homoseksual didefinisikan sebagai atraksi atau aktivitas seksual
antara sesama jenis.Prefiks “homo” dalam homoseksual berasal dari bahasa Yunani
yang artinya “sama” bukan merujuk pada bahasa Latin homo yang berarti “laki-laki”.Dengan demikian homoseksual diartikan
sebagai hubungan seksual dengan sesame jenis, bukan hubungan seksual dengan
laki-laki.Seseorang dikatakan homoseksual didasarkan pada perilaku, orientasi,
identitas atau karena ketiga hal tersebut.Homoseksual dipandang sebagai suatu
kesatuan, yaitu klaster perilaku dan karakteristik personal.Aktivitas seksual
antar kaum homoseksual biasa disebut dengan sodomy
atau buggery yang pada dasarnya
merujuk pada anal intercourse.
Sebenarnya tidak ada yang secara spesifik dilakukan oleh para homoseksual
karena mereka melakukan apa yang dilakukan oleh kelompok heteroseksual, seperti
ciuman, sentuhan, pelukan, breast
stimulation, fellatio, oral seks,
dan anal intercourse, kecuali
melakukan vaginal intercourse.
Homoseksualitas merupakan sebuah rasa
ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik
secara erotis atau tidak , dimana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif
maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin
sama. Homoseksualitas merupakan salah satu bentuk orientasi seksual yang
berbeda, tidak menyimpang serta mempunyai kesejajaran yang sama dengan
heteroseksualitas (Kadir, 2007). Fehr (1998) dalam Kadir (2007), mencoba
mengonsepsikan posisi seksual kaum homoseksual sebagai berikut : “Category membership is therefore an all or
none phenomenon, any instances that
meets criterion is a member ; all other are non member. Boundaries between
concept are this clearly defined. Because each member must posses the
particular set attributes that is the criterion of category inclusin, all
member have a full and equal degree of membership and therefore are equally
representative of the category”.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Kata sifat homoseks digunakan
untuk hubungan intim dan/atau hubungan
sexual di
antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak
mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal,
pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah
tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian
adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita
homoseks (Kertbeny, 1990).Homoseksual
dapat mengacu pada : a) orientasi
seksual
yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain mempunyai kelamin
sejenis secara biologis atau identitas
gender yang
sama, b) perilaku
seksual
dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau
identitas gender, c) identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin
dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual.
2.3.1
Penyebab terjadinya
homoseksual
Beberapa teori
yang lain menyebutkan, penyebab dari homoseksual adalah:
1)
Psikodinamika
Charles Socarides
(dalam Tobing, 1987, p.54, dalam www.digilib.petra.ac.id) menerangkan adanya 5
tipe penyebab homoseksual, yaitu:
a.
Pre-oedipal,
merupakan hasil fiksasi
perkembangan pada 0-3 tahun.
b.
Oediphal, timbulnya
homoseksual karena kegagalan dalam fase oedipus.
c.
Schizohomoseksuality,
schizoprenia dan homoseksualitas yang terdapat
pada satu orang.
d.
Situational
homosexual, terjadi
karena situasi, misalnya tidak adanya pasangan heteroseksual mengakibatkan
seseorang melakukan aktivitas seksual dengan sesama jenis.
e.
Variational homosexual,
sebagai variasi dari perilaku seksual
seorang heteroseksual.
Sementara itu Alien
(1969, p.207) dalam www.digilib.petra.ac.id
percaya bahwa homoseksualitas (pada laki-laki) dapat disebabkan oleh empat hal:
a.
Penolakan terhadap ibu
Afeksi
terhadap ibu (atau pengganti figur ibu) merupakan jembatan psikologis bagi
seorang anak laki-laki untuk memindahkan cinta yang didapat dari figur ibu
kepada figur wanita lain. Secara umum seseorang cenderung memindahkan emosi
dari orangtua (yang berbeda jenis kelaminnya) kepada pasangannya kelak. Seorang
anak yang secara tidak sadar memiliki kebencian kepada ibunya, atau yang tidak
pemah mencintai ibunya, tidak mampu mentransfer
afeksi kepada wanita lain karena tidak pernah mengalami dan mempelajarinya.
b.
Kelekatan berlebihan
dengan ibu
Merupakan
salah satu sisi dari oedipus complex, yang secara umum terbentuk karena
penolakan secara "halus" kepada figur ayah. Hal ini dapat terjadi
karena figur ayah bagi anak tidak ada, disebabkan sang ayah meninggal
sewaktu anak masih bayi, atau dipaksa
oleh keadaan untuk pergi jauh dari keluarganya. Anak laki-laki tidak memiliki
contoh untuk pembentukan kepribadiannya, tidak ada sosok maskulin untuk ditiru,
sehingga akan mengidentifikasi dirinya dengan ibunya. Mengidentifikasi diri
seperti ibu yang seorang wanita, semakin menumbuhkan sisi feminin dan diikuti
rasa mampu mencintai sesama laki-laki.
c.
Permusuhan dengan ayah
Permusuhan
dengan ayah juga merupakan salah satu sisi dari Oedipus complex.Merupakan
hal sangat umum dalam penelitian mengenai homoseksualitas.Banyak ditemukan
perilaku homoseksual karena figur ayah adalah seseorang yang destruktif,
seperti pecandu minuman keras, brutal dan memperlakukan ibunya dengan buruk.Hal
inilah yang membuat seorang anak laki-laki dengan tanpa paksaan memilih
mengidentifikasi dirinya dengan figur yang lebih feminin.Pilihan menjadi individu yang lebih feminin sangat
dipengamhi oleh faktor-faktor ketidaksadaran individu.
d.
Afeksi berlebihan terhadap
ayah yang kurang mampu berperan sebagai ayah
Seorang
anak yang dibesarkan dalam keluarga di mana sang ayah tidak mampu berperan
sebagai ayah yang baik (tidak mencerminkan sisi maskulin sama sekali), sehingga
ditinggalkan istri, dapat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak
menjadi seorang homoseksual. Dalam beberapa kasus anak yang dibesarkan dengan
figur ayah yang tidak maskulin mungkin saja memperoleh informasi bahwa
ibunya/wanita itu kejam, sehingga anak semakin memuja ayahnya.Akibatnya secara
tidak sadar anak mentransformasi simbol-simbol obyek seksual wanita menjadi
bentuk seksual laki-laki.Payudara
ditransformasikan dengan bentuk pantat dan penis, vagina diganti dengan anus
dan mulut. Hal inilah yang menyebabkan mengapa homoseksual laki-laki sering
melakukan oral sex.
2)
Biologik
Hormonal
Ellis
pada tahun 1901 menyatakan bahwa ada/tidaknya homoseksualitas adalah keadaan
yang didapat seseorang sejak ia lahir, sehingga menjadi homoseksual bukanlah
sesuatu yang immoral, bahkan banyak homoseksual yang memberi kontribusi
menakjubkan dalam masyarakat (Robinson, 1976 dalam APA n.d. Guidelines for
psychoterapy with lesbians, gay and bisexual clients.Facts about homosexuality
and mental health). Aktivis gay mengklaim bahwa kelompok ini menjadi
homoseksual karena menurut mereka memang "dilahirkan" untuk menjadi
homoseksual, sehingga tidak bisa mengubah maupun menghentikan dorongan dan
perilaku homoseksualnya. Pada tahun 1992, Isay yang merupakan anggota komite American
Psychiatric Association untuk masalah gay, lesbian, dan biseksual,
mengemukakan pendapatnya bahwa penyebab homoseksual adalah konstitusional
(biologis, telah ada sejak lahir).
Berdasarkan
kajian ilmiah, beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual (dalam
Rianti, 2008), dapat dilihat dari :
a.
Susunan Kromosom
Perbedaan
homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya yang
berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu
kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu
dan satu kromosom y dari ayah.Kromosom y adalah penentu seks pria.Jika terdapat
kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap berkelamin pria.Seperti yang
terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter
yang memiliki tiga kromosom seks yaitu xxy.Dan hal ini dapat terjadi pada 1
diantara 700 kelahiran bayi.Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy.Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada
pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.
b.
Ketidakseimbangan
Hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga
mempunyai hormon yang dimiliki oleh wanita
yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita ini sangat sedikit.
Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen dan progesteron yang
cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan perkembangan
seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.
c.
Struktur Otak
Struktur
otak pada straight females dan straight males serta gay
females dan gay males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan
dari straight males sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup
tebal dan tegas. Straight
females, otak antara
bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males,
struktur otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females
struktur otaknya sama dengan straight males, dan gay females ini
biasa disebut lesbian.
d.
Kelainan Susunan Syaraf
Berdasarkan
hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan syaraf otak dapat
mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual.Kelainan susunan
syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.
3)
Pengaruh
Budaya dan Life Style
Pengaruh
Budaya
Aktivitas homoseksual lebih sedikit
terdapat pada kelompok orang-orang yang sangat memperdulikan agama, sebaliknya
aktivitas homoseksual banyak terdapat pada kelompok yang kurang memperdulikan
religiusitasnya.Pada tahun 198, Family Research Institute mengadakan
penelitian yang menunjukkan hasil bahwa individu yang dibesarkan dalam keluarga
yang kurang religius, memiliki kecenderungan 4 kali lebih besar terlibat
aktivitas homoseksual.Penelitian ini menyadarkan bahwa ketika seseorang percaya
bahwa homoseksual merupakan hal yang imoral maka mereka cenderung menghindari
perilaku tersebut.Faktor budaya merupakan faktor yang sulit dibuktikan
keterkaitannya dengan timbulnya perilaku homoseksual pada seseorang, karena
budaya masih terbagi dalam banyak bagian yang lebih kecil dan berbeda-beda
antara homoseksual satu dengan lainnya (Kinsey, 1998, p.111). Cameron juga
menjelaskan bahwa ada 4 faktor kategori terpenting mengenai penyebab
homoseksualitas (dalam What Causes Homosexual Desire and Can It Be Change?,n.d..
Family Research Institute, para. 3-6), yaitu:
a.
Pengalaman Homoseksual
Pengalaman
homoseksual pada masa kanak-kanak, terutama apabila pengalaman tersebut
merupakan pengalaman pertama yang dilakukan
dengan orang dewasa termasuk kontak homoseksual bersama dengan orang
dewasa, khususnya dengan saudara. Ini disebabkan oleh pengaruh “jebakan” atau
sebaliknya karena “terjebak” dalam pengalaman seksual yang pertama kali.
Apabila seorang remaja, yang belum berpengalaman heteroseksual, sudah dihomoi
(dipaksa atau diperkosa oleh sejenisnya), ia akan sulit menilai kenikmatan
hubungan heteroseksual secara proposional. Pengalaman seksual pertama dengan
sejenisnya mendorong emosi erotiknya untuk mengulangi.Kasus Endy dapat menjadi
contoh bagaimana pengalaman seksual pertamanya dapat mempengaruhi perilaku
seksualnya.Keluguan Endy sebagai remaja dimanfaatkan Hengky yang sudah dianggap
sebagai kakaknya.Kasih sayang yang diberikan Hengky dengan sering memberikan
ciuman, elusan kepala atau mengusap wajah diartikan Endy sebagai ungkapan rasa
sayang seorang kakak.Namun, lama kelamaan Endy mulai sering diajak nonton BF
yang menjadikan Endy sering terangsang.Ditengah perasaan yang belum pernah
dialami sebelumnya, tiba-tiba Hengky memeluk Endy dan merebahkannya ke
ranjang.Seperti orang yang terhipnotis, akhirnya Endy tidak berdaya untuk
menolak atau berontak karena sungkan dan rasa hormatnya kepada Hengky yang
dianggapnya sebagai kakak.Sejak
itu Endy mulai terpengaruh dan sering melakukan hubungan seks dengan Hengky.
Hubungan yang terjadi diantara pasangan homoseksual tidak jarang
dilatarbelakangi hubungan terstruktur senior yunior, guru murid atau atasan
bawahan. Pada hubungan seperti ini orang yang mempunyai posisi sebagai senior
atau atasan akan mempunyai power
untuk memaksakan kehendak kepada bawahan.
b.
Abnormalitas keluarga
Termasuk
didalamnya ibu yang dominan, posesif atau ibu yang menolak kehadiran individu,
ketiadaan figur ayah, jauh atau ayah yang menolak kehadiran individu, orangtua
yang memiliki kecenderungan homoseksual, saudara yang memiliki kecenderungan
homoseksual, terutama tipe yang menganiaya saudara laki-laki/saudara
perempuannya, kurangnya religiusitas dalam lingkungan rumah. perceraian, yang
seringkali mencetuskan masalah seksual baik untuk anak-anak maupun untuk orang
dewasa, orangtua yang memiliki model peran gender modern. Artinya, adanya
pergeseran peran sosial antara pria dan wanita.Misalnya, suami banyak melakukan
aktivitas domestik karena isteri bekerja untuk membantu suami dalam memenuhi
kebutuhan keluarga. Pengakuan homoseksualitas sebagai gaya hidup yang bisa
diterima dalam lingkungan keluarga.
c.
Pengalaman
seksual yang tidak wajar
Terutama pada masa kanak-kanak: masturbasi yang
berlebihan, pengungkapan pornografi di masa kanak-kanak, bagi anak perempuan,
melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dewasa.
d.
Pengaruh budaya
Penerimaan
sosial terhadap sub-kultur homoseksual, yang mengundang rasa ingin tahu dan
mendorong eksplorasi.Pendidikan seks yang mendukung homoseksualitas dan danya
figur berkuasa yang secara terbuka mengakui identitasnya sebagai homoseksual,
toleransi sosial dan hukum terhadap tindakan homoseksual, penggambaran
homoseksualitas sebagai perilaku yang normal dan/diinginkan.
Life Style
Bila kita lihat gaya hidup masyarakat
dunia, khususnya Indonesia, tidak mengherankan bila jumlah kaum homoseksualitas
akan terus meningkat tiap tahunnya. Tuntutan karir dan gaya hidup metropolitan
telah memaksa para orang tua kehilangan waktu dengan dengan anak-anaknya.
Anak-anak pun mulai kehilangan figur bapak dan atau ibu.Efektivitas “waktu
keluarga” nampak sangat penting di sini.
2.3.2
Klasifikasi homoseksual
Dalam ilmu
psikologi, ada dua macam homoseksual yaitu :
1.
Homoseksual Egosintonik
Adalah seseorang
homoseksual yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada
konflik bawah sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada desakan , dorongan atau
berkeinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. Orang-orang homoseksual tipe
ini mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan dan ekonomi sama tingginya
dengan orang-orang yang bukan homoseksual. Wanita homoseks dapat lebih mandiri,
fleksibel, dominant, dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan tenang.
Kelompok homsoseks ini
tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis lebih banyak daripada para
heteroseks karena pada hakikatnya mereka menerima dan tidak terganggu secara
psikis dengan orientasi seksual mereka sehingga mampu menjalankan fungsi social
dan seksualnya secara efektif.
2.
Homoseksual Egodistonik
Homoseks egodistonik
adalah homoseks yang mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis.Ia
senantiasa tidak atau sedikit sekali terangsang oleh lawan jenis dan hal itu
menghambatnya untuk memulai dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang
sebetulnya didambakannya. Secara terus terang ia menyatakan bahwa dorongan
homoseksualnya menyebabkan dia merasa tidak disukai, cemas dan sedih. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan tidak
bersalah, kesepian, malu, cemas dan depresi. Karenanya,
homoseksual ini dianggap sebagai gangguan psikoseksual.
2.3.3
Jenis – jenis
homoseksual berdasarkan orientasi seksual
Menurut
Bekert (1898) dalam Kadir (2007), menggolongkan orientasi homoseksual kedalam
kajian patologis medis yang disejajarkan dengan berbagai penyakit kejiwaan
lainnya seperti gangguan mental dan kegilaan.Kemudian Hirschfeld dan Havelock
Ellis mengembangkan teori ini. Dengan semakin berkembangnya analisa patologis
maka homoseksual juga masuk dalam klasifikasi gangguan psikoseksual lainnya
seperti kegemaran melihat kegiatan seks orang lain (voyeurisme), kesenangan melakukan seks dengan berbagai benda
sembari membayangkan wajah sang kekasih atau terobsesi dengan bagian-bagian
tertentu orang yang dicintai (kaki, tangan, rambut) atau barangnya (sapu
tangan, bikini) (fethisme), nafsu
yang berlebihan dalam melakukan hubungan seksual (satyriasis bagi laki-laki dan nymphomania
bagi perempuan), hobi dalam menggunnakan pakaian/segala sesuatu yang berkenaan
dengan lawan jenis (transvestitisme).
Alfred Kinsey,
membagi orientasi seksual secara positifistik, sebagai berikut :
Nilai
|
Pernyataan
|
0
|
Heteroseksual ekslusif
|
1
|
Heteroseksual lebih menonjol (predominan), homoseksualnya Cuma
kadang-kadang
|
2
|
Heteroseksual predominan, homoseksual lebih dari kadang-kadang
|
3
|
Heteroseksual dan homoseksual seimbang
|
4
|
Homoseksual predominan, heteroseksual lebih dari kadang-kadang
|
5
|
Homoseksual predominan, heteroseksual cuma kadang-kadang
|
6
|
Homoseksual ekslusif
|
Dari
skala tersebut dapat terbaca bahwa angka 0 mewakili heteroseksualitas,
sedangkan angka 6 mewakili homoseksualitas secara ekslusif.Pada angka 1
menggambarkan orientasi heteroseksualitas yang lebih dominant, dimana
kecendrungan homoseksualhanya timbul secara kadang-kadang dan jarang.Sedangkan
angka 5 menggambarkan orientasi homoseksualitas yang lebih dominant, dan
kecendrungan heteroseksual hanya timbuk secara kadang-kadang dan jarang. Angka
3 menggambarkan tarik menarik antara homoseksualitas dan heteroseksualitas yang
sama-sama kuat dan dominan. Dengan kata lain jenis ini termasuk pada tataran
biseksual.
Secara defenitif
jika melihat pada dialektika antar hetero-homoseks, maka perilaku kaum homoseks
dapat dibagi ke dalam tujuh bagian, yakni :
a. Pertama,
murni heteroseksual
b. Kedua,
lebih dominant heteroseksual, namun sekali waktu terdorong melakukan tindakan
homoseksual, hal ini tampak pada perilaku seksual sejenis di penjara, dan
beberapa kondektur bus atau sopir truk di jalur Pantura yang melakukan oral
seks atau hubungan anal dengan waria ketika uang mereka mulai menipis (harga
kencan dengan waria terkadang setengah atau lebih murah dari harga PSK
perempuan). Pola serta
aktivitas homoseksual ini lebih bersifat situasional tergantung ruang dan
waktu.
c. Ketiga,
lebih dominant heteroseksual, namun juga sering melakukan tindakan homoseksual.
d. Empat,
perilaku heteroseksual dan homoseksual seimbang. Ketertarikan yang seimbang ini
biasa disebut juga sebagai biseksual, istilah ini merupakan rujukan keadaan
perilaku psikoseksual yang menempatkan dua jenis kelamin sebagai objek seksual
dalam ambivalensi yang seolah
seimbang. Pelaku biseksual dapat mengalami perangsangan erotik baik dari
laki-laki maupun perempuan, sehingga kaum biseksualdapat melakukan hubungan
intim dengan pasangan laki-laki atau perempuan.
e.
Lima,
lebih dominant homoseksual, namun juga sering kearah heteroseksual.
f.
Enam,
lebih dominan homoseksual, sekali waktu heteroseksual.
g. Tujuh, murni homoseksual
Idealnya
identitas seksual kita selaras dengan orientasi dan perilaku seksual kita.Tahap-tahap
pembentukan identitas memberi kerangka untuk membantu pemahaman. Orang akan
berkembang melalui tahap-tahap ini pada waktu yang berbeda-beda. Sebagian akan
tetap pada tahap tertentu, sementara yang lain akan kembali ke tahap-tahap
sebelumnya.
Menurut
Sigit (2007), seorang homoseks mempunyai tahap-tahap perkembangan identitas,
yaitu :
1.
Kebingungan Identitas
Membuka
diri bermula ketika individu menjadi sadar bahwa pikiran, perasaan dan
perilakunya bertentangan dengan cara bagaimana ia diajarkan untuk memandang
dirinya (sebagai heteroseks). Perasaannya yang baru dapat disebut homoseks atau
biseks.Dia mulai memandang homoseksualitasnya relevan secara pribadi.Karena perasaanya bertentangan dengan identitas yang
dibayangkan sebelumnya, dia akan mengalami keresahan dan kebingungan. “Siapa
diriku”. Merasa dikucilkan dan meragukan diri sendiri. Apabila ia mulai menerima
perasaan baru pada dirinya, maka ia akan mencari informasi. Namun bila tidak
identitas negatif atau penuh benci diri mulai berkembang.
2.
Perbandingan Identitas
Sembari mulai menerima
homoseksualitasnya, individu ini menyadari perbedaan antara dirinya dengan
orang lain. Dia akan merasa hilang dan kesepian sementara semua harapannya
tentang perilaku dan masa depan. Muncul pertanyaan “masuk kemana aku
ini”.Seringkali homoseks disamakan dengan seks yang menyimpang, penyakit
kejiwaan dan lain-lain.Oleh karenanya mereka mulai berpikir soal bergaul dengan
orang-orang homoseks lainnya.
3.
Toleransi Identitas
Penerimaan
individu terhadap homoseksualitasnya yang membawa dua konsekuensi :
a.
Kebingungan dan
keresahan berkurang, sehingga ia dapat mengakui keperluan social, seksual dan
emosinya.
b.
Perbedaan antara
bagaimana ia memandang dirinya dan bagaimana orang lain memandang dirinya
bertambah.
4.
Penerimaan Identitas
Individu dapat memandang dirinya sebagai
homoseksual secara positif.Pergaulan dengan orang-orang homoseks memberinya
kesempatan untuk mengembangkan kelompok/partner namun identitas diri sebagai
homoseks belum diketahui umum.Hubungan
dengan keluarga dapat menjadi jelas sementara individu kian yakin akan
identitasnya.
5.
Kebanggaan Identitas
Adanya pertentangan antara komitmen pada
dirinya sendiri serta orang-orang homoseks lainnya dengan penolakan masyarakat
terhadap homoseksualitas.Hal ini dapat mengakibatkan suatu perasaan
kebanggaan.Dia dapat mengembangkan suatu komitmen yang kuat terhadap budaya dan
komonitas homoseks serta suatu amarah terhadap penolakan masyarakat.
6.
Sintesis Identitas
Pergaulan
homoseks menjadi lebih luas dan terbuka ke masyarakat. Pada tahap ini identitas
menjadi terintegrasi dengan semua aspek dirinya yang lain. Homoseks dianggap
bukanlah suatu persoalan dalam hal bagaimana ia melanjutkan hidupnya.
2.3.4
Perilaku seksual kaum
homoseksual
1)
Kebutuhan Seksual Kaum Homoseksual
Seks
dalam arti yang luas merupakan energi psikis yang turut mendorong manusia untuk
bertingkah laku dalam relasi seksual maupun aktivitas non seksual.Akibatnya,
seks menjadi sebuah mekanisme bagi manusia agar mampu mendapatkan
keturunan.Bagi seorang homoseks, dorongan seks yang sifatnya erotik dipuaskan
melalui hubungan seks dengan relasi sejenisnya. Bagi yang memiliki pasangan tetap,
kebutuhan seksual dapat dilakukan kapanpun tanpa melalui proses mencari
pasangan kencan atau transaksi. Sebaliknya, kaum homoseks yang belum mempunyai
pasagan tetap untuk memenuhi kebutuhan seksualnya harus melalui proses
pencarian terlebih dahulu, padahal kebutuhan seksualnya bisa muncul secara
tiba-tiba.
Seperti
layaknya manusia normal, secara batiniah kepuasan seksual tidak selamanya
dilakukan dengan hubungan seks.Lebih dari itu, rasa sayang, rasa mencintai,
rasa aman, dan rasa sependeritaan merupakan hal yang juga harus
dipuaskan.Pemenuhan kebutuhan ini dapat dilakukan jika mereka mempunyai
pasangan hidup.Bagi kaum homoseks pasangan hidup yang diperoleh bisa dua macam,
yaitu pasangan hidup yang memang sudah gay, atau pasangan hidup yang awalnya adalah
lelaki normal.
Laki-laki
yang homoseksual mempunyai peran yang berbeda dalam kegiatan seksualnya, yaitu
: 1) Laki-laki yang senantiasa berlaku memasukkan (insertif) penis nya ke dalam
anal pasangan seksnya, 2) Laki-laki yang senantiasa berlaku menerima pemasukan
(reseptif) penis pasangannya ke dalam anusnya, 3) Laki-laki yang tidak
melakukan anal seks tetapi saling melakukan oral seks dan masturbasi (timbal
balik melakukan seks oral dan masturbasi, dan 4) Laki-laki yang melakukan peran
dan kegiatan berbeda pada masa yang berbeda dalam hidupnya.
2)
Bentuk Perilaku Seks
Aman Kaum Homoseksual
Untuk
menciptakan perilaku seks yang aman, cara yang dipilih oleh komunitas
homoseksual di Surabaya adalah :
a. Mengurangi
jumlah pasangan
Meminimalkan
jumlah pasangan dan jeli dalam memilih pasangan merupakan cara-cara yang
ditempuh kaum homoseks untuk mengurangi risiko tertular PMS.
b. Menghindari
melakukan hubungan anal seks
Aktivitas
seksual yang dilakukan, terutama terhadap pasangan yang baru dikenal, berkisar
pada ciuman basah, merancap dan oral seks.Bentuk-bentuk aktivitas seksual
seperti itu dianggap cukup aman untuk mereka.Anal seks hanya dilakukan dengan
pasangan tetap atau dengan pasangan yang sudah berhubungan cukup mendalam dan
mantap.
c. Memakai
kondom
Ada sebagian kaum homoseks yang sangat berhati-hati.
Meski dorongan seksnya sudah menggebu-gebu, bila tidak ada kondom, ia tidak
berani melakukannya. Kebiasaan yang dilakukan homoseks, ia tidak akan puas
hanya dengan saling mencumbu, merancap atau oral seks. Ia baru akan terpuaskan
apabila melakukan anal seks, namun bentuk ini cukup berbahaya, terutama jika
dilakukan bukan dengan pasangan tetapnya.
d. Sumber
Informasi Perilaku Seks Aman
Informasi
yang berkaitan dengan seksualitas dikalangan kaum homoseksual umumnya diperoleh
dari teman. Hal ini wajar mengingat dorongan seksual muncul pada kurun usia
reproduktif, yang pada usia tersebut seseorang lebih terikat pada kelompoknya
daripada keluarganya.
2.3.5
Seksualitas dan
Pertentangan Budaya : Diskursus Homoseksualitas di Indonesia
Hubungan seksual sesama jenis saat ini
digambarkan bukan saja bisa disebut immoral, non relijius, abnormal, menyimpang
(deviant), melainkan juga bahaya,
jahat (kriminalitas) dan merupakan ancaman terhadap integritas bangsa. Padahal
kebudayaan kuno Nusantara secara konsep mempunyai keragaman hubungan
homoseksual yang tidak menjadi denyut problematik dalam kehidupan serta
keseharian mereka.Kekayaan sensual serta seksualitas yang dimiliki kebudayaan
kita menunjukkan bahwa sejak jaman dahulu masyarakat Indonesia telah
menggunakan konsep hubungan seks yang didasarkan tidak hanya pada jenis kelamin
yang berbeda, namun juga jender yang berbeda. Dan tentunya jenis kelamin yang
sama dalam hubungan seks bukan menjadi sebuah permasalahan yang menggelisahkan.
Unsur
homoseksualitas pada Serat Centhini terdapat pada cerita mengenai Nurwitri dan
Cebolang yang diperlakukan sebagai pihak feminine ketika mereka bertemu Adipati
di Kabupaten Daha. Sebelum meniduri dan melakukan hubungan seksual melalui
dubur Nurwitri, sang Adipati mewajibkan mereka mengenakan pakaian kewanitaan
untuk menari dihadapnnya. Demikian pula hal tersebut dilakukan pada Cebolang
yang notabene lebih maskulin disbanding Nurwitri.
Namun secara konsepsi seksual, pada
setiap kebudayaan selalu terdapat kelompok atau individu yang menganut
orientasi seks yang berbeda dengan dominan yang lainnya.Homoseksualitas merupakan suatu objek yang sering hadir
dan dianggap “tidak normal”. Homoseksualitas cenderung dianggap oleh masyarakat
dominant sebagai sebuah orientasi seks yang keluar dari jalur “keseluruhan cara
hidup”. Secara politis orientasi homoseksual, juga dianggap bagian dari
kegagalan the minor term dalam
menyesuaikan diri dengan identitas jender (feminine-maskulin) dan seksual
(laki-laki-perempuan) yang telah terstruktur jelas di Indonesia.
Di Indonesia
diskursus homoseksualitas dibentuk setidaknya oleh tiga hal yakni : 1) Pada
zaman masuknya dan berkembangnya Islam yang berlaku hingga kini,
2) Pada masa
colonial, dan
3) Infiltrasi
keilmuan medis dalam hal ini pihak psikologis/psikiater hingga rumah sakit
jiwa.
1)
Homoseks Dalam Agama Dominan di Indonesia
Agama
mayoritas penduduk Indonesia hingga saat ini adalah Islam. Agama yang berasal
dari Timur Tengah ini secara spesifik mencirikan dirinya sebagai agama yang
dominan dengan nilai moralitas, yang datang ke Nusantara menggeser agama-agama
dari Asia Tengah/Selatan yang dominant dengan nilai estetika (Weeks, 1981 dalam
Kadir, 2007). Islam cenderung memisahkan dengan jelas antara sakral dan
profane, sedangkan agama Hindu-Budha dalam memandang seksualitas mempunyai
batasan yang terkadang abstrak.Agama local menjadi terancam keberadaannya
ketika gerakan Islam modernis masuk ke Indonesia. Karena Islam sama sekali
tidak mengakomodasi local genius
seperti kesenian tradisional yang mengandung cinta sejenis (seperti reog).
Agama Islam memandang seksualitas selalu terkait erat dengan disiplin moralitas
tubuh, wacana patriarki, virginitas, prokreasi, heteroseksual, fungsi
kekerabatan yang semuanya berdasarkan Al-Qur’an.Tak terkecuali juga dengan Katolik. Ketidaksetujuan Iman
Kristen yang dilandaskan pada doktrin dan tafsiran mereka atas Alkitab. Mereka
memandang bahwa tidak terdapat satu ayatpun yang merestui hubungan
homoseksualitas, serta ditemukannya ayat-ayat yang mengutuk homoseksualitas,
seperti kisah Sodom dan Gomorah dan kisah-kisah lain di Perjanjian Lama dan di
Perjanjian Baru. Pengutukan atas homoseksualitas juga dipertegas melalui
pemahaman Gereja atas pernikahan, yang mempersatukan pria dan wanita (dengan
Kitab Kejadian dan Injil Martius sebagai sumber rujukan) (Kadir, 2007).
Agama memandang
seksualitas sebagai sesuatu yang agung karena ia merupakan penyambung hidup dan
pengganda keturunan. Hasil dari hubungan itu adalah seorang anak yang
diharapkan dan dianggap sebagai titipan Yang Kuasa.
2)
Homoseks
Pada Masa Kolonial
Undang-Undang
di Inggris pada tahun 1861 menyatakan bahwa pelaku homoseksual dapat dituntut
hukuman mati sebagai yang terberat dan yang teringan adalah antara 10 tahun
sampai hukuman seumur hidup. Pada tahun 1885 aktivitas homoseksual dianggap
sebagai tindakan kriminal dan melanggar hukum karena ia melawan berbagai
aktivitas dominan yang dianjurkan oleh Ratu Victoria yakni seksualitas
prokreasi.
Berbagai kebudayaan Nusantara yang
mengandung unsur kuat percintaan sejenis mengalami transformasi
besar-besaran.Hal ini karena dalam sistem koloninya, Belanda tidak lupa
mengikutkan garis moral ala Kristen di Abad Pertengahan Eropa yang mencoba
untuk memperadapkan kaum pribumi/daerah koloni dengan melarang mereka melakukan
onani, sodomi dan sejenisnya.Kaum homoseks semakin terancam di Indonesia,
ketika diadakannya witchunt yakni
kampanye histeria pengebirian terhadap mereka.
3)
Homoseks
Dalam Pandangan Klinis
Represi
terhadap kaum homoseks berupa kutukan tidak begitu saja menghilang ketika
masuknya kaum intelektual medis mencoba mempatologikan kaum homoseksual sebagai
“devian”. Memasuki awal tahun 80-an dibelahan dunia terbangun tesis dengan
mewabahnya penyakit AIDS, bahwa penyakit tersebut cenderung diakibatkan oleh
hubungan seksual kalangan homo yang mempunyai gaya utama dalam bentuk anal intercourse. Jenis hubungan ini
dianggap sebagai biang keladi mewabahnya penyakit AIDS oleh kalangan medis.
Munculnya berbagai stigma tersebut
membuat kalangan homoseksual menjadi waspada dengan mengurangi frekuensi
hubungan diantara mereka. Salah satu strategi dan gaya seksual yang berkembang
di Amerika kemudian adalah phone sex.
Di Indonesia saat ini para psikolog masih menganggap homoseksualitas sebagai
sebuah tindakan patologis yang memerlukan penyembuhan dan normalisasi.
2.3.6
Homoseksual dan
HIV/AIDS
HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual (homoseksual ataupun
heteroseksual) dengan seorang yang mengidap HIV, transfusi darah yang tercemar
HIV, melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas
dipakai orang yang mengidap HIV dan pemindahan HIV dari ibu hamil yang mengidap
HIV kepada janin yang dikandungnya.
Distribusi umur penderita AIDS di AS, Eropa dan Afrika tidak
berbeda jauh, kelompok terbesar berada pada umur 30 – 39 tahun, dan menurun
pada kelompok umur yang lebih besar dan lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa
transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual merupakan pola transmisi
utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas, maka
infeksi terbesar terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20
– 30 tahun. Rasio jenis kelamin pria, wanita di negara pola I adalah 10 – 15 :
1 karena sebagian besar penderita adalah kaum homoseksual, sedangkan di
negara-negara pola II, rasio ini adalah 1 : 1. Perbandingan antara penderita
dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan) umumnya lebih tinggi di
daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas (hubungan
seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok masyarakat berisiko tinggi
adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum homoseksual
termasuk kelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik,
serta penerima transfuse darah termasuk penderita hemofili dan
penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV.
Kelompok homoseksual (termasuk biseksual) termasuk kelompok
terbesar pengidap HIV di Amerika Serikat.Prevalensi infeksi HIV dikalangan ini
terus meningkat dengan pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya 4 % kaum homoseksual
diperkirakan mengidap HIV, 3 tahun kemudian angka ini bertambah menjadi 24 %, 8
tahun kemudian menjadi 80 % dan pada saat ini telah menjadi 100 %. Di London
pada tahun 1982, hanya 3,7 % kaum homoseksual mengidap HIV, 3 tahun kemudian
menjadi 21 % saat ini telah lebih dari 35 % sehingga diperkirakan pada tahun
1990 menjadi 100 %. Kelompok heteroseksual, kelompok ini di Afrika merupakan
kelompok utama dimana homoseksualitas tidak populer.Saat AIDS pertama kali
dideteksi pada kaum homoseksual di negara-negara maju, pola hubungan
heteroseksual belum menjadi perhatian.Saat ini 4 % kasus AIDS berasal dari
kelompok ini. Jumlah ini terus meningkat sehingga diramalkan akan terjadi
epidemi AIDS kedua pada kaum heteroseksual.
Menurut Tana, di Indonesia, kelompok seksual minoritas dengan
jumlah terbesar dikenal sebagai transeksual atau transgender atau yang dikenal
sebagai ‘banci’; ‘waria’;’bencong’ atau ‘wadam’ tergantung asal daerah. Waria
pada umumnya berhubungan seks dengan laki laki heteroseksual dan mereka
mempunyai identitas perempuan. Di tempat dimana terjadi segregasi seks dalam
norma norma budaya, identitas waria mungkin adalah satu satunya bentuk ekspresi
homoseksual yang ‘diterima’. Waria ini masih berkait dengan epidemic HIV/AIDS
karena banyaknya jumlah klien mereka serta aktivitas seksual yang telah dimulai
pada usia dini (30% seks pertama saat SD, 40% saat SMP dan 15% SMA; atau 70%
sebelum umur 16 tahun) (Crisovan, 1996).
Diantara homoseksual terdapat 2 kelompok yaitu laki laki dan homo.
‘Laki laki’ cenderung menyesuaikan pada peran gender laki laki, berpartner
dengan perempuan, menikah dan kadang kadang berhubungan seks dengan transeksual
(Oetomo, 1991). Kelompok laki laki ini menyebut diri dan dianggap sebagai
heteroseksual. Homo adalah terminologi
bagi laki laki gay, yang berpartner dengan hanya laki laki. Di Indonesia,
interaksi sosial yang lebih diterima adalah bila salah satu partnernya adalah
perempuan. Ini juga berlaku untuk lesbian dan perempuan yang mencintai
perempuan. Pada lesbian, terdapat istilah Jawa ‘suntil’ (laki laki) dan
‘cantil’ (perempuan) dan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘cowok’ (laki laki )
dan ‘cewek’ (perempuan). Lesbian cowok adalah sangat maskulin dalam penampilan
dan perilaku, sedang lesbian cewek lebih feminine dalam penampilan dan perilaku
(Blackwood 1998). Sama halnya dengan laki laki asli, lesbian laki laki berusaha
memenuhi perempuan secara normative dengan menyesuaikan dengan norma norma
gender yang berlaku, memenuhi hasrat seksual mereka melalui hubungan seks dengan
seorang perempuan tanpa dilabel sebagai pelanggar norma gender.
Seperti halnya kaitan antara determinan sosial yang lain seperti
kemiskinan dengan kesehatan, kaitan antara gender, seksualitas dan kesehatan
bersifat kompleks dan multi dimensi. Belum lagi kontribusi faktor makro lain
yang akan berpengaruh pada interaksi ketiganya, seperti budaya dan kebijakan.
Karena itu, untuk membicarakan peluang dan tantangan diversitas gender,
seksualitas dalam upaya pencapaian kesehatan, akan lebih mudah jika kita
langsung membicarakannya dalam konteks kesehatan masyarakat. Menurut Feldman
(1994) dan Schoepf (2001), tak ada penyakit lain yang menyangkut dimensi
sosial, budaya dan politik sebanyak AIDS.
Saat ini, HIV/AIDS merupakan masalah besar di dunia. Ia merupakan
pandemi paling berpengaruh sampai saat ini. Indonesia mengalami proses
sedemikian lama mulai saat virus ini relatif tak terdengar pada awal tahun
1980. Pada saat HIV/AIDS muncul pertama kalinya, ia dikenal sebagai penyakit
kaum homoseksual, dan penyakit ini dianggap berkembang karena perilaku seks
yang dianggap menyimpang dan kutukan dari Tuhan akibat penyimpangan itu. Saat
itu, penderita penyakit ini dituduh telah berbuat ’immoral’. Kelompok kelompok
relijius bahkan mendiskripsikan AIDS sebagai ’hukuman Tuhan terhadap dosa
seksual’ (Overberg 1994: 5). Respon yang berbasis interpretasi moral telah
melumpuhkan upaya pencegahan (Beyer, 1998). Lingkungan kebijakan internasional
yang berbasis pada kesehatan masyarakat dan teks teks medis yang penuh dengan interpretasi
moral memperlambat upaya pencegahan karena adanya penolakan untuk mengatasi isu
isu ini. (Schoepf 2001; p. 340). Sebagai hasilnya, kebijakan dan politik
HIV/AIDS bertaut dengan retorika. Hal ini menciptakan diskursus dimana AIDS
dilihat sebagai penyakit ’orang tertentu’ (Altman 2001). Kelompok kelompok lain
ini meliputi orang asing, gay, PSK dan kelompok kelompok lain yang dilihat
sebagai sumber penyakit atau berbahaya (Wilton 1997). Mereka yang bukan bagian
dari kelompok kelompok ini lalu dilihat sebagai ’bersih, sehat dan aman’ (Hsu
et al 2004; p. 209).
Analisis sosiologis dan antropologis tentang HIV/AIDS menyebutkan
konstruksi sosial penyakit sebagai stigma sosial. Pemahaman terhadap epidemi
AIDS semata mata mengarah pada ”WHO” bukan ”HOW”. ”Kelompok resiko” telah
distigmatisasi dan telah menderita sedemikian banyak dari epidemi ini (dan)
disalahkan atas penyebaran AIDS. AIDS juga telah dilihat sebagai ’penyakit
modern’ dan sebagai hasilnya ritual ritual berbasis budaya seperti sifon atau
sirkumsisi tradisional menggunakan pisau tidak steril dianggap bebas dari
resiko karena tidak berkaitan dengan modernitas. Pada sifon, terdapat praktek
ritual meniduri seorang perempuan (seringkali seorang PSK) segera setelah
ritual sirkumsisi sebagai kepercayaan bahwa ini akan memberikan kesembuhan
lebih cepat (Crisovan, 1996).
Namun perjalanan epidemiologi penyakit ini ternyata berkata lain.
Seiring dengan perjalanan waktu dan maturitas sebaran epidemiologis penyakit
ini, sekarang, dapat dikatakan bahwa seorang ibu rumah tangga yang tidak ada
kaitannya dengan perilaku seks yang menyimpang dari norma bisa terjangkit HIV.
Michael Bloor mengkaitkan diskursus kesehatan masyarakat kelompok ’resiko
tinggi’ dengan ’hegemoni agenda untuk mengatur seksualitas, menghukum korban
dan surveilans terhadap kelompok kelompok menyimpang (imigran, gay, PSK) (Bloor
1995; p.84 in Crisovan, 2006).
Konsentrasi kelompok
beresiko dapat bertindak sebagai alat untuk menstereotipikan dan
menstigmatisasi orang yang telah termarjinalkan atau berada diluar arus utama
moral dan ekonomi. Bahkan perluasan terminologi dari ’kelompok beresiko’
menjadi ’perilaku beresiko’ juga menjadi sumber masalah. Seorang perempuan yang
tidak mengetahui tingkat kesetiaan suaminya tidak merasa beresiko. Banyak
program pencegahan mengabaikan efek negatif penggunaan terminologi ’kelompok
resiko’ dan ’perilaku beresiko’ dan menolaknya dengan hanya memfokuskan pada
kelompok kelompok ini, yang lebih mudah untuk disasar karena lebih spesifik
(Gagnon, 1998). Lebih jauh, menyasar hanya pada ’kelompok beresiko’ untuk upaya
upaya pencegahan dan pendidikan memberi persepsi pada masyarakat bahwa mereka
tidak berada dalam resiko. Saat ini sebenarnya tidak ada zona aman bagi HIV,
karena ancaman penyakit tersebut juga ada ditengah masyarakat umum. HIV
kemudian menjadi salah satu isu gender karena meskipun HIV/AIDS mempengaruhi laki laki dan perempuan, namun terbukti bahwa perempuan
justru lebih rentan terhadap penyakit ini karena berbagai alasan, yaitu alasan
biologi, epidemiologi dan sosial. Proporsi laki laki dan perempuan yang
mengidap HIV kemudian hampir mencapai keseimbangan. Menghambat penyebaran
penyakit ini secara teoritis adalah sederhana tetapi secara operasional
terbukti sulit (Schmid, 2007).
2.4 Biseksual
2.4.1
Definisi biseksual
Ada
beberapa definisi mengenai biseksualitas, antara lain :
1.
Sebuah kekuatan atau
kapasitas untuk merasakan ketertarikan secara erotik kepada pria dan wanita atau untuk melibatkan diri di dalam
interaksi seksual dengan pria dan wanita (Sexual Interactions, Albert &
Elizabeth Allgeier; page 510)
2.
Orang-orang
yang memiliki ketertarikan seksual atau perilaku seksual dengan semua jenis
kelamin (Fox, 1996)
3.
Biseksual
adalah orang-orang gay atau lesbian yang takut untuk mengakui dirinya sebagai
seorang homoseksual (Eliason, 1997)
4.
Biseksualitas
adalah kapasitas untuk ketertarikan secara fisik, romantic dan atau emosional kepada
lebih dari satu gender (Bi Any Other Name, Lorraine Hutchins & Lani
Ka’ahumanu)
5.
Biseksualitas adalah
orientasi seksual yang berkenaan dengan romantic dan ketertarikan seksual
seorang individu kepada individu lainnya yang berjenis kelamin sama dan berbeda
(Wikipedia)
6.
Biseksual adalah
seseorang yang mempunyai dua kepribadian atau bisa disebut juga seperti
mempunyai dua kelamin karena mempunyai kedua sifat tersebut.
7.
Biseksual merupakan perilaku atau orientasi seksual seseorang,
baik laki-laki maupun perempuan, yang tertarik secara seksual dan erotik pada
dua jenis kelamin.
2.4.2
Penyebab seseorang
menjadi biseksual
Para ahli psikolog
atau kedokteranpun masih kesulitan dalam menjelaskan penyebab orang jadi gay,
lesby, ataupun biseksual. Seperti yang dikemukakan Sigmun Freud (2007) bahwa
pada dasarnya individu sudah memiliki potensi sejak lahir untuk menjadi
homoseksual maupun biseksual. Tetapi sebagian besar dari kita mengalami represi
pada salah satu sisi. Manusia memiliki sifat biseksual bawaan artinya setiap
orang punya dasar dan peluang menjadi biseksual. Merujuk pada teori hormonal
bahwa setiap manusia sebenarnya memiliki unsur hormon pria maupun wanita, tarik
menarik unsur tersebut sebagai hal yang biasa dan mudah terjadi. Seorang pria
yang unsur hormonnya menjadikan seorang heteroseksual, bukannya tak mungkin
tertarik dan memiliki fantasi tentang pria. Demikian juga perempuan
heteroseksual juga sangat mungkin tertarik pada sesama jenisnya. Sementara
hasil penelitian The Kinsey Institute for Research in Sex, Gender, and
Reproduction menunjukkan bahwa proses pembentukan orientasi seksual tidak
semata keturunan, tapi bisa juga karena faktor-faktor lain seperti lingkungan,
situasi dan juga psiko sosial. Artinya, seorang yang lahir secara fisik adalah
pria hetero, tapi bisa menjadi biseks. Demikian juga seorang yang dari bawaan
adalah homoseksual, karena faktor-faktor lain bisa menjadi biseksual; atau
mungkin juga transeksual.
Secara umum,
homoseksual maupun biseksual merupakan kaum minoritas dalam masyarakat dan
dianggap tidak lazim, tidak normal atau aneh, karena memang mayoritas orang
mempunyai orientasi heteroseksual (menyukai lawan jenis), yang selama ini
dianggap normal. Kecenderungan berorientasi akan mewujud menjadi tindakan atau
perilaku biseksual didorong oleh beberapa keadaan. Diperkirakan bahwa orang
mendapatkan dan mengalami kejadian biseksual ini dalam beberapa cara yang
berbeda. Bagi sebagian orang hal ini berawal sebagai satu bentuk percobaan
untuk menambahkan percikan ke dalam kehidupan seksual mereka, namun itu tidak
menjadi karena utama aktivitas seksual. Bagi yang lain itu adalah pilihan yang
mereka sengaja untuk berpartisipasi dalam apapun yang terasa paling nyaman saat
itu. Beberapa ahli lain juga berendapat bahwa kemungkinan faktor penyebab
seseorang menjadi gay, lesby, ataupun
biseksual dipengaruhi oleh banyak faktor :
1.
Faktor
Biologis
Yakni ada kelainan
di genetik dan hormonal. Faktor hormonal bisa menjadi salah satu pendorong pria maupun perempuan
untuk menjadi gay maupun lesbian bahkan biseksual. Ada jenis hormon tertentu
dalam dirinya yang lebih dominan. Namun faktor biologis hanyalah pendorong
orang untuk berbuat, bukan yang menentukan jenis perbuatan yang harus
dilakukan.
2.
Faktor
Psikodinamik
Yaitu adanya
gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak (seperti kasus sodomi
pada anak di bawah umur).
3.
Faktor
Lingkungan
Yaitu keadaan
lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis maupun
berlawanan jenis menjadi erat. Perilaku seseorang tentu mencerminkan informasi
yang dia serap tentang perbuatan itu dari lingkungan sekitarnya. Faktor
lingkungan dan mental psikologis lebih besar efeknya bagi terciptanya orientasi
seksual. Seseorang menjadi gay, atau lesbi, atau homo, atau biseks bisa
dicermati dari dua penyebab. Pertama,
bersifat temporer. Seseorang menjadi gay atau lesbi atau homo saat ia berada
dalam lingkungan kehidupan sesama jenisnya. "Seseorang yang mendekam di penjara
hanya bersama pria lama-lama bisa saja memiliki perilaku seksual gay,"
ujarnya. Kedua, bersifat permanen,
yakni seseorang berperilaku seksual gay sejak akil balig. Pilihan menjadi gay
biasanya dalam waktu lama. Jika melepas ke-gay-annya ia sudah termakan usia
saat menyulam tali pernikahan bersama wanita. Begitu pula dengan kaum
biseksual.
4. Coba-coba
Perilaku
coba-coba untuk memperoleh pengalaman seksual baru sering dilakukan antar
sahabat. Percobaan seksual dalam hubungan antara sahabat baik, cukup umum di
antara wanita dan bisa pula terjadi antara dua pria berteman baik, atau seorang
pria homoseks dapat mengembangkan hubungan seksual dari hubungan yang biasa, namun bersahabat, dengan seorang wanita.
Laki-laki yang
telah beristri mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat laki-lakinya.
Demikian juga perempuan yang telah bersuami, mencoba pengalaman seksual baru
dengan sahabat perempuannya. Perilaku biseksual ini dapat juga muncul dari
hasil coba-coba antara laki-laki homoseksual dengan sahabat perempuannya atau
antara perempuan lesbian dengan sahabat laki-lakinya. Jadi, fenomena orientasi
seksual itu memang kompleks atau pelik dan tidak dapat dilihat hanya pada
perilaku yang tampak di permukaan (overt behavior).
Seks berkelompok
adalah tempat lain untuk percobaan biseksual. Akhirnya, beberapa orang
mengambil filosofi biseksual sebagai hasil pertumbuhan sistim kepercayaan
pribadi. Misalnya, seorang wanita yang selama ini aktif dalam gerakan wanita
menemukan bahwa mereka menjadi dekat dengan wanita lain lewat pengalaman dan
menerjemahkan kedekatan ini ke dalam ekspresi seksual. Kemudian contoh yang
lain seorang gadis berciuman dengan kawan perempuannya. Kemudian setelah gadis
itu berciuman dengan kawan perempuannya, bisa jadi – menurut Weston – ia akan berkata
pada dirinya sendiri: "Ok, saya telah mencobanya dan ternyata tidak
benar-benar mendapatkan gairah seks atau ketertarikan secara seksual dengannya.
Dan saya ragu apakah akan melakukannya lagi.." Bila keadaannya begini,
gadis tadi masih dikategorikan sbg heteroseks sepenuhnya, meski pun pernah
mencoba cara lain.
5. Seksbebas (free sex)
Para penganut seks
bebas seringkali mengadakan pesta seks yang dihadiri banyak orang dengan
berbagai ragam orientasi seksual. Dalam keadaan semacam ini sangat terbuka
kemungkinan coba-coba melakukan hubungan biseksual. Bila dalam melakukan
hubungan itu mengalami kenikmatan seperti diharapkan, perilaku tersebut
cenderung diulang-ulang, sehingga ia dapat berkembang menjadi orang yang
memiliki perilaku biseksual.
6. Kebutuhan emosional yang tak terpenuhi
Hasil penelitian
tentang seksualitas ganda menunjukkan bahwa para wanita biseksual mempunyai
beberapa kebutuhan emosional yang hanya dapat dipenuhi oleh laki-laki;
sementara beberapa kebutuhan emosional lainnya menurut mereka hanya dapat
dipenuhi perempuan.Untuk memenuhi seluruh kebutuhan emosional tersebut mereka
memiliki peran seksualitas ganda."Saya mencintai pasangan laki-laki saya,
tetapi tidak mendapatkan kepuasan emosional yang saya butuhkan darinya.Hubungan
saya dengan seorang perempuan dimulai sebagai persahabatan.Dalam dua tahun kami
semakin erat, dan sangat intim secara emosional. Kami menjadi tertarik secara
fisik satu sama lain. Kemudian pada suatu hari, hal itu terjadi. Kami berciuman
dan tidak berhenti sampai disitu…." (Secrets of Better Sex)."Kami
berdua merasa malu dan bersalah setelahnya.Beberapa hari kami takut
membicarakan hal itu.Itu bukan kebiasaan kami, karena kami selalu membicarakan
segala sesuatunya secara langsung. Kami memutuskan tidak akan membiarkan hal
itu terjadi lagi, tetapi kami kembali melakukannya. Hal itu telah berjalan
bertahun-tahun sampai sekarang.Kami tidak berpikir untuk meninggalkan pasangan
laki-laki kami.Ini hanya sesuatu yang kami butuhkan, sesuatu yang tidak kami
dapatkan dari laki-laki."Studi yang dilakukan di Australia dan
dipublikasikan pada bulan Mei 2002 ini dalam British Journal of Psychiatry
menemukan bahwa orang dewasa yang menjalani kehidupan seksual ganda akan
mengalami perasaan-perasaan seperti cemas, depresi dan rasa bersalah yang
sangat mendalam karena melakukan kehidupan seks tidak normal. Kondisi yang sama
juga dialami kaum homoseksual tapi tidak sehebat tekanan mental yang dialami
kaum biseksual. Pada situasi yang semakin tidak terkendali para biseksual yang
harus menjalani kehidupan seksual ganda -karena mereka juga punya pasangan
resmi- akan semakin bingung dan cenderung melakukan usaha bunuh diri atau
melukai diri sendiri secara sengaja.
7. Kebutuhan akan variasi dan kreativitas
Hasil penelitian
terhadap pria biseksual menunjukkan bahwa kebanyakan mereka menjadi biseksual
karena ingin memenuhi kebutuhan akan adanya variasi dan kreativitas untuk
mendapatkan kepuasan dan kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual.
2.4.3
Deskripsi mengenai
pengukuran biseksualitas
Pada tahun 1950-an
Alfred Kinsey menggambarkan seksualitas manusia sebagai sebuah rangkaian yang merupakan
kesatuan, bagaimana sebaiknya melihat seksualitas manusia, dan analisanya
tersebut sangat berguna untuk bisa memahami seksualitas.Hal ini yang disebut
dengan Skala Kinsey (The Kinsey Scale) yaitu untuk mengukur orientasi seksual.Kinsey membaginya pada skala dari angka 0 hingga 6 dalam
sebuah garis horisontal. Skala yang mempunyai 7 poin tersebut memiliki
penilaian 0 (heteroseksual murni) sampai 6 (homoseksual murni), sedangkan
biseksual berada pada penilaian 1-5. Kemudian para
peneliti seks (sexresearchers)
mengembangkan skala Kinsey (0-6) untuk menggambarkan orientasi seksual sebagai
satu kesatuan/rangkaian (continuum).
Skala Kinsey menerangkan bahwa heteroseksual dan homoseksual bukanlah sesuatu
yang bertentangan, akan tetapi merupakan dua posisi memungkinkan di dalam
rangkaian preferensi / kesukaan seksual.
Heterosexual Murni
|
Homosexual Murni
|
0
|
2
|
1
|
5
|
4
|
3
|
6
|
Bisexuaitas
|
1.
Skala 0 adalah heteroseksual
eksklusif (tidak homoseksual), dimana pria hanya memiliki ketertarikan seksual
dan melakukannya pada wanita.
2.
Skala 1 adalah kecenderungan
heteroseksual (sesekali homoseksual), dimana heteroseksual yang melakukan
aktivitas seksual dengan wanita, tapi memiliki terkadang memiliki ketertarikan
pada sesama pria
3.
Skala 2 adalah kecenderungan
heteroseksual (lebih dari sesekali homoseksual) yaitu pria yang melakukan
hubungan seksual dengan wanita, tapi terkadang memiliki ketertarikan dan juga
aktivitas pada wanita (lain jenis).
4.
Skala 3 adalah heteroseksual
dan homoseksual seimbang yaitu pria yang memiliki ketertarikan dan hubungan
aktif dengan wanita, tapi tertarik dan punya hubungan seksual dengn pria.
5.
Skala 4 adalah kecenderungan
homoseksual (lebih dari sesekali heteroseksual) adalah seorang pria yang
tertarik dan aktif melakukan hubungan dengan pria, tapi juga memiliki
ketertarikan dan hubungan secara insidental dengan wanita.
6.
Skala 5 adalah kecenderungan
homoseksual (sesekali heteroseksual) yakni pria yang aktivitasnya seksual
dengan pria, tapi punya ketertarikan saja pada wanita
7.
Skala 6 adalah homoseksual
eksklusif (tidak heteroseksual) adalah adalah pria yang sepenuhnya homoseksual,
baik respon psikologis maupun aktivitas seksualnya hanya dengan pria sejenis.
Menurut
penelitian, ada variasi pola di mana pria dan wanita berkedudukan dalam skala
Kinsey di atas. Pria, baik homoseksual maupun heteroseksual, cenderung berada
di ujung skala (lebih eksklusif), sedangkan wanita juga berada di ujung skala,
tapi kemungkinan untuk berada di antara kategori 2 sampai 5 lebih besar dari
pria.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Kinsey pada tahun 1940-an dan 1950-an, sekitar
15% – 25% wanita dan 33% – 46% pria dimungkinkan biseksual, berdasarkan atas
aktivitas dan ketertarikan mereka. Sebenarnya
biseksual merupakan populasi yang tersembunyi. Dalam budaya kita pada umumnya
diasumsikan bahwa seseorang itu adalah heteroseksual atau homoseksual
(berdasarkan pada penampilan atau tanda-tanda berperilaku) saja. Biseksual
sering disangkal atau tidak diakui karena tidak masuk kedalam kedua standar
tetap yang diasumsikan budaya tersebut. Ketika biseksual dikenali biasanya
dilihat sebagai bagian dari heterosesksual dan bagian homoseksual daripada
sebagai identitas yang unik. Biseksualitas mengancam cara penerimaan dunia dengan
mempertanyakan validitas dari kategori-kategori seksual yang kaku tersebut dan
mendorong pengakuan dari eksistensi bermacam-macam range dari seksualitas.
Untuk meningkatkan pemahaman atau kesadaran biseksual mulai membentuk
komunitas-komunitas yang visible.
Dalam
Crooks & Baur (2005), biseksual dapat dibagi ke dalam beberapa kategori,
antara lain: real orientation, transitory orientation, transitional
orientation, dan homosexual denial.
1.
Pada
real orientation, individu biseksual memiliki ketertarikan pada wanita dan pria
sejak awal kehidupannya dan berlanjut hingga usia dewasa. Pada orientasi ini,
individu mungkin saja terlibat secara aktif dalam hubungan seksual dengan lebih
dari satu pasangan atau mungkin saja tidak dan akan selalu memiliki perasaan
ketertarikan terhadap kedua jenis kelamin secara terus menerus.
2.
Pada
transitory, biseksual tidak menjadi orientasi seksual dominan dari individu
yang bersangkutan. Kondisi biseksual di sini merupakan keadaan temporer dan
terjadi umumnya karena pengaruh dari lingkungan, misalnya seorang heteroseksual
yang akhirnya memiliki ketertarikan terhadap individu dari jenis kelamin sama
karena adanya kebutuhan seksual yang harus dipenuhi tetapi kondisi lingkungan
tidak memungkinkan baginya untuk berhubungan dengan lawan jenis sehingga ia
memutuskan untuk berhubungan dengan sesama jenis untuk mengurangi dorongan
seksualnya, contohnya di penjara atau di boarding school yang diperuntukan bagi
satu jenis kelamin saja.
3.
Biseksual
berorientasi transitional menunjukan bahwa biseksual merupakan satu fase yang
harus dilewati karena adanya perubahan dalam preferensi seksual, misalnya
heteroseksual menjadi homoseksual atau vice versa. Perubahan preferensi seksual
yang terjadi adalah perubahan yang bersifat permanen, artinya seorang
heteroseksual berubah menjadi homoseksual melalui sebuah tahapan biseksual
tetapi kondisi homoseksual, atau orientasi seksual yang paling akhir, menjadi
bagian dari identitas dirinya untuk jangka waktu yang panjang.
4.
Setelah
berada pada orientasi seksual akhir, individu tersebut bukan lagi seorang
biseksual ataupun seorang penganut orientasi seksual sebelumnya. Orientasi yang
terakhir merupakan penyangkalan atas ketertarikannya terhadap sesama jenis
(homosexual denial). Individu-individu biseksual pada kategori ini umumnya
berusaha untuk menghindari stigma negatif yang beredar di masyarakat mengenai
penganut homoseksual. Bagi individu-individu homoseksual, individu-individu
biseksual pada kategori ini mereka lihat sebagai seorang homoseksual yang kurang
berusaha untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual."
2.4.4
Teori model – model
perilaku biseksualitas
Ada beberapa teori tentang model-model
perilaku biseksual. J.R Little mengidentifikasi sedikitnya ada 13 tipe
biseksual berdasarkan keinginan seksual
dan pengalaman yaitu :
1.
Alternating Bisexsuals
Dapat
memiliki hubungan dengan pria dan setelah hubungan tersebut berakhir, dapat
memilih partner wanita (subsequentrelationship)
dan dimungkinkan dapat kembali memilih partner pria pada relasi yang selanjutnya.
2.
Circumstantial
Bisexuals
Heteroseksual
secara primer, akan tetapi dapat memilih partner yang berjenis kelamin sama
pada situasi dimana tidak terdapat akses kepada partner jenis kelamin yang
lain, seperti di dalam penjara, kemiliteran, sekolah yang terpisah khusus
berjenis kelamin sama.
3.
Concurrent Relationship
Bisexuals
Memiliki
relasi utama dengan hanya satu jenis kelamin akan tetapi memiliki relasi kasual
atau relasi sekunder dengan orang dengan jenis kelamin lainnya pada satu waktu
yang sama.
4.
Conditional Bisexuals
Pada
dasarnya adalah seorang heteroseksual atau homoseksual murni (straight), tetapi
dapat berganti kepada jenis relasi yang berbeda (jenis kelamin partner
berganti) untuk keuntungan secara finansial dan karir ataupun tujuan lain yang khusus
misalnya pemuda heteroseksual menjadi seorang prostitute gay, atau seorang
lesbian menikah dengan pria untuk mendapatkan pengakuan/penerimaan dari anggota
keluarga atau untuk mendapatkan anak.
5.
Emotional Bisexuals
Memiliki
hubungan kedekatan emosional dengan pria dan wanita, akan tetapi memiliki
relasi atau hubungan seksual hanya dengan satu jenis kelamin.
6.
Integrated Bisexuals
Memiliki lebih dari satu hubungan utama dengan pria maupun wanita
pada satu waktu yang sama.
7.
Exploratory Bisexuals
Pada
dasarnya adalah seorang heteroseksual atau homoseksual murni tetapi melakukan
hubungan seksual dengan lain gender hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu
“seperti apakah rasanya”
8.
Hedonistic Bisexuals
Pada
dasarnya adalah seorang heteroseksual atau homoseksual murni tetapi kadangkala
melakukan hubungan seksual dengan lain gender hanya untuk kesenangan atau murni
untuk kepuasan seksual.
9.
Recreational Bisexuals
Pada
dasarnya heteroseksual tetapi terlibat hubungan seksual dengan gay atau lesbi
hanya ketika berada dibawah pengaruh obat dan atau alcohol.
10.
Isolated Bisexuals
100%
homoseksual atau heteroseksual pada saat ini akan tetapi memiliki satu atau
lebih pengalaman seksual dengan lain gender di masa lalunya.
11.
Latent Bisexuals
Homoseksual
ataupun heteroseksual di dalam perlakuannya tetapi memiliki hasrat yang kuat
untuk melakukan seks dengan gender lain akan tetapi tidak pernah melakukannya.
12.
Motivational Bisexuals
Wanita
murni yang melakukan hubungan seksual dengan wanita lainnya karena partner
prianya mendesaknya untuk melakukan hubungan seksual seperti itu dengan tujuan
untuk merangsang atau menggairahkan partner pria.
13.
Traditional Bisexuals
Diidentifikasi
secara temporer atau sementara sebagai biseksual ketika di dalam proses untuk
menjadi homoseksual atau menjadi heteroseksual.
2.4.5
Ciri – ciri identitas
biseksual
Persepsi diri adalah kunci dari
identitas biseksual.Heteroseksual, homoseksual dan transeksual lebih bisa
diidentifikasi dengan mudah, tidak demikian dengan biseksual.Kelompok biseksual
memang tidak menampakkan secara fisik, sehingga tidak gampang dikenali.Karena
itu, seseorang yang tampak sebagai pria tulen yang tampak bahagia dan harmonis
dengan istri, misalnya ternyata juga berhubungan dengan pria.Bahkan seorang
pria yang diketahui playboy dengan banyak pacar wanita, misalnya, ternyata
berhubungan seks dengan pria.Kelompok biseksual lebih bisa diidentifikasi pada
kaum homoseksual yang menikah, meskipun dalam tataran orientasi seksual, mereka
tidak bisa digolongkan sebagai biseksual murni.
Seseorang baru dapat dikatagorikan
sebagai biseksual apabila orientasi seksualnya diikuti dengan prilaku dan
perbuatan. Artinya, ia melakukan aktivitas seksual dengan lelaki maupun dengan
perempuan dalam kehidupan mereka. Inilah yang disebut sebagai prilaku biseksual
sesungguhnya. Selama baru tertarik, berfantasi dan memikirkannya, ia belum
seorang biseks, mungkin ia seorang hetero atau homo. Memiliki orientasi sebagai
biseksual belum tentu mereka melakukan aktifitas sebagai biseksual. Sigmun
Freud mengatakan, sifat biseksual bawaan dalam proses pertumbuhannya dapat
ditekan (direpresi) sedemikian rupa, sehingga sifat itu tidak muncul
dipermukaan.
Beberapa orang yang melakukan aktivitas
seksual dengan semua jenis kelamin, tidak diidentifikasikan sebagai biseksual.
Ada juga orang yang teribat di dalam aktivitas seksual sama sekali, mengatakan
bahwa dirinya adalah biseksual.
Beberapa orang percaya bahwa seseorang dilahirkan heteroseksual, homoseksual,
atau biseksual (disebabkan karena pengaruh hormonal prenatal) dan karena itulah
identitas mereka melekat/sudah menjadi sifatnya dan tidak dapat diubah.
Beberapa orang lain meyakini bahwa orientasi seksual disebabkan karena
sosialisasi atau hidup bermasyarakat (misalnya meniru ataupun menolak model
orangtua) atau kesadaran di dalam memilih (misalnya memilih sebagai seorang
lesbian sebagai bagian dari identitas atau cirri-ciri politik feminis). Ada
juga yang meyakini bahwa beberapa factor diatas itu saling berkaitan karena
setiap orang berbeda secara biologis, social dan budaya. Asumsi lain mengatakan
bahwa biseksualitas hanyalah sebuah tahapan atau fase didalam hidup seseorang,
karena manusia itu berbeda antara satu dengan yang lain, perasaan seksual dan
perilaku seseorang berubah dari waktu ke waktu sehingga pembentukan identitas seksual
adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti.
Sejak manusia
secara umum dikenali sebagai heteroseksual, biseksual adalah merupakan tahapan dalam penglaman seseorang
sebagai bagian dari proses pengakuan terhadap homoseksualitasnya. Banyak orang
lain yang mengidentifikasikan dirinya sebagai biseksual setelah periode
mempertimbangkan dalam mengenali diri sebagai homoseksual. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Ron Fox pada 900 individu biseksual menemukan bahwa 1/3
dari mereka adalah homoseksual di masa lampau. Biseksualitas (seperti halnya
heteroseksual dan homoseksual) dimungkinkan merupakan tahapan transisi dalam
proses penemuan seksual atau sesuatu yang tetap, idenitas yang long term. Pada
umumnya terdapat sedikitnya empat tahapan untuk pemahaman penuh dan rasa
menjadi nyaman dengan identitas sebagai biseksual.
1.
Kebingungan terhadap
orientasi seksual
Banyak orang biseksual memulai dengan
perasaan kebingungan yang tentang ketertarikannya pada kedua jenis
kelamin.Mempertanyakan realita yang mereka miliki, dan bertanya-tanya apakah
ada sesuatu yang salah dariku?Beberapa orang menghabiskan seluruh hidupnya pada
tahapan ini, menyembunyikan orientasi seksual mereka, merasa terisolasi dan
sendiri dengan kekacauan di dalam dirinya atas dua hal atraksinya.Banyak orang
biseksual melanjutkan hidupnya dengan mengidentifikasi dirinya sebagai seorang
heteroseksual atau bahkan homoseksual untuk diterima oleh masyarakat dan
membuat pengertian dirinya sendiri atas orientasi seksualnya.
2.
Penemuan the bisexual
label dan memilih identitas sebagai biseksual
Hampir semua biseksual mengakui bahwa
menemukan label biseksual adalah sangat penting di dalam pemahaman dan
penerimaan seksual orientasi mereka. Pada umumnya pengalaman ekstrim yang
mereka miliki digambarkan ketika mereka mendengar kata biseksual pada saat
pertama kali karena pada akhirny mereka enemukan sebuah kata yang mencerminkan
pengalaman dan perasaan mereka. Tetapi pada beberapa kondisi sterotip
negatipdari biseksual sebagai promiscuous
atau sebagai pembawa penyakit AIDS mencegah mereka dari identifikasi dengan label
atau mengklaim hal tersebut untuk mereka sendiri. Kemudian beberapa orang
biseksual menemukan definisi mereka sendiri dan membentuk gaya hidup biseksual
yang cocok dengan kehidupan individual mereka.
3.
Penetapan dan
pemeliharaan identitas biseksual
Bagi beberapa orang biseksual, tahapan
ini adalah yang paling sulit. Secara intelektual mereka merasa nyaman dengan
menjadi biseksual , akan tetapi secara emosional mereka mengalami konflik
ekstrim ketika hidup di dunia nyata sebagai biseksual. Tidak jarang dicemooh
oleh keluarga dan keluarga ditolak oleh pasangannya, membuat mereka berpikir
bahwa membangun dan memelihara sebuah identitas biseksual memerlukan kekuatan
dari dalam diri, kepercayaan diri, dan kemandirian.Biasanya mereka mengatasinya
dengan membentuk komunitas mereka sendiri, menemukan teman-teman yang mau
menerima dan mencintai mereka dan membentuk dinding untuk menghindari
konsekuensi.
4.
Transformasi
penderitaan
Pada umumnya orang-orang biseksual
dating dan pergi (didalam benteng/dinding yang mereka bentuk sendiri) adalah
merupakan proses yang terus berjalan yang selalu harus diulangi di dalam
situasi social yang baru, tempat kerja, teman da pasangan. Banyak orang melihat
proses ini sebagai bentuk paling penting di dalam aksi politik, membentuk peranan
model yang nampak dan menyatukan komunitas biseksual. Oleh karena para
biseksual mengalami kesulitan dan penderitaan di dalam tiga tahapan diatas
sendiri dan didalam kesunyian atau kerahasiaan mereka menginginkan untuk
membuat hal-hal tersebut menjadi lebih mudah bagi para biseksual yang lain
untuk mengenali dan mendapatkan orientasi seksual mereka tanpa butuh waktu
bertahun-tahun di dalam kesendirian dan kekacauan di dalam diri. Mereka mulai
melibatkan diri di dalam organisasi politik biseksual sebagai cara untuk
meningkatkan penampakan diri dari biseksual dan mempromosikan bisekual sebagai
identitas yang aktif.
Seorang biseks temporer pada dasarnya
bisa berhenti atau diberhentikan, kalau dikehendaki.Apalagi, para biseks
temporertersebut, pada umumnya, punya kesadaran dan perasaan bersalah, ketika
menganggap prilaku tersebut sebagai hal yang menyimpang.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Orientasi seksual seseorang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kognitif dan biologis.Artinya, bagaimana
seseorang dibesarkan (termasuk pengalaman-pengalaman seseorang yang bersifat
seksual), pola pikir orang tersebut dan struktur genetis dan hormonal yang
didapat sejak seseorang berada di dalam kandungan mempengaruhi orientasi
seksual seseorang. Orientasi seksual seseorang pada umumnya akan mulai
muncul pada awal-awal masa remaja.
Dalam seksiologi di kenal dengan
nama heteroseksualitas dan homoseksualitas Heteroseksual yaitu manusia yang
memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Artinya, pria tertarik secara seksual
pada wanita, demikian juga sebaliknya, jadi heteroseksual adalah salah satu
jenis dari orientasi seksual yaitu aktivitas seksual di mana pasangan seksual
yang dipilih berasal dari lawan jenis.Mereka inilah yang disebut pria atau
wanita tulen.Pria atau wanita yang dianggap normal yang merupakan golongan
mayoritas.
Penolakan terhadap kehadiran kaum
homoseksual justru lebih banyak datang dari keluarga yang pada akhirnya tidak
jarang akan menimbulkan konflik dalam keluarga. Misalnya, pemaksaan pada si gay oleh keluarga untuk
menikahi perempuan. Bila menolak untuk menikah, mereka akan diusir dari
keluarga
3.2
Saran
1) Bagi keluarga hendaknya jangan melakukan
penolakan terhadap kaum homoseksual.
2) Bagi kaum homoseksual dalam melakukan hubungan seksual, agar melakukannya dengan cara yang aman agar
terhindar dari HIV/AIDS.
DAFTAR
PUSTAKA
Alimi,
M.Y., (2004), Dekonstruksi Sensualitas PosKolonial
dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama, Penerbit LKIS, Yogyakarta.
Budiridwin, Ancaman Perilaku Homoseksual, http://budiridwin.wordpress.com/2008/03/05/ancaman-perilaku-homoseksual-copy-dari-wwwinilahcom/
Feray,
Jean-Claude, Herzer, Manfred., (1990),
Homosexual Studies and Politics in the 19th Century: Karl Maria Kertbeny, Journal of
Homosexuality dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas.
Handoyo,
H, (2007), Gay Pride: Homoseksual Dipicu Lingkungan dan Gaya Hidup, http://netsains.com/2007/07/gay-pride-homoseksual-dipicu-lingkungan-dan-gaya-hidup/
Kadir,
A.H., (2007), Tangan Kuasa Dalam Kelamin ; Telaah Homoseks, Pekerja Seks dan
Seks Bebas di Indonesia, INSISTPress, Yogyakarta.
Puspitosari,
H., Pujileksono, S., (2005), WARIA dan Tekanan Sosial, Penerbit Universitas
Muhammadiyah, Malang.
Rianti,
D., (2007), Homoseksual Tinjauan Dari Perspektif Ilmiah, http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/homoseksual_tinjauan_dari_perspektif_ilmiah/
Sigit, S., (2007), Homologi, Penerbit GAYa NUSANTARA; Surabaya.
Oetomo, D. (2001), Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press; Yogyakarta.
saya boleh bertanya mas, faktor - faktor biseksual itu sumbernya dari mana ya ? saya lagi butuh untuk skripsi saya
BalasHapus